Apa yang Terjadi di Saqifah Bani Saidah di Hari Wafatnya Rasulullah?
26 Mar 2024
Hari itu Senin tanggal 12 Rabiulawal tahun ke sebelas Hijriah atau 8 Juni tahun 832 M. Rasulullah baru saja wafat di pagi itu, setelah sebelumnya sempat menghadiri salat subuh berjemaah bersama para sahabat di Masjid Nabawi.
Kabar wafatnya Rasulullah langsung menjadi berita duka yang menyelimuti Kota Cahaya (Madinah Munawarah), begitu Nabi menyebutnya. Kota itu seolah kehilangan cahayanya. Para sahabat diliputi kesedihan yang mendalam.
Seharusnya para kerabat Rasulullah dan para sahabat mempersiapkan pemakaman Rasulullah. Akan tetapi itu urung dilakukan. Suatu peristiwa besar terjadi, yang memang seharusnya ditakdirkan terjadi, yang membuat kerabat Rasulullah telantar dua hari untuk mengurus jenazahnya.
Itu adalah sebuah peristiwa yang mengawali sejarah, yang nantinya akan tercatat dengan tinta emas di buku – buku sejarah beradab – abad lamanya.
Dan sejarah itu bermula di Saqifah Bani Saidah, sebuah balai pertemuan milik Bani Saidah, salah satu anggota suku Khazraj. Saqifah sendiri berasal dari kata saqfun yang berarti atap.
Akan tetapi Balai Pertemuan itu seolah dimiliki bersama oleh orang – orang Anshar, karena mereka biasa mengadakan pertemuan dan bermusyawarah di sana. Pemimpin Bani Saidah, Saad bin Ubadah hampir selalu hadir di balai itu. Itu karena rumahnyalah yang paling dekat dengan tempat itu.
Orang – orang Muhajirin kemudian berkumpul mengelilingi Abu Bakar. Namun mayoritas orang – orang Anshar berkumpul di Saqifah Bani Saidah. Perkumpulan sahabat ini, baik yang bersama Abu Bakar maupun di Balai Pertemuan, adalah tentang persoalan penting terkait siapa pengganti Rasulullah sebagai pemimpin umat pasca wafatnya.
Sahabat Anshar beranggapan bahwa kepemimpinan mestilah jadi hak mereka. Seorang Anshar berbicara atas nama Saad bin Ubadah yang hadir dalam balai itu dalam kondisi sakit, setelah memuji Allah, dia mulai berpidato, "Kami adalah penolong Allah dan pembela Islam. Dan kaum Muhajirin adalah bagian dari kami, karena sebagian kalian telah bermukim bersama kami."
Pidato itu sangat nyata begitu menyanjung kaum Anshar dan sedikit sekali memuji kaum Muhajirin. Ini mengabaikan fakta bahwa kaum Muhajirin lah, bukan Anshar, penganut Islam yang pertama. Merekalah yang pertama kali berjuang bersama Nabi. Bahwa kehormatan yang dimiliki Anshar saat ini disebabkan kaum Muhajirin hijrah ke tempat mereka.
Umar ingin sekali membantah sahabat Anshar ini, namun Abu Bakar mencegahnya dan menyuruhnya diam. Abu Bakar sendiri yang akan berbicara. Tampaknya Abu Bakar khawatir, Umar akan memperkeruh suasana dan berujung pertikaian.
Abu Bakar mengulangi lagi pujian dan posisi Muhajirin. Dia tidak membantahnya. "Namun kini," kata Abu Bakar, "Kaum muslimin telah menyebar ke seluruh jazirah Arab. Mereka tidak akan mau menerima kekuasaan dari seseorang yang bukan berasal dari Quraisy. Merekalah yang paling baik nasabnya dan negerinya."
Quraisy memang memiliki tempat khusus dan istimewa di jazirah Arab. Mereka dianggap sebagai keluarga Allah, karena merekalah yang menjaga rumah suci, Kakbah. Mereka lebih lagi dihormati setelah tentara Abrahah gagal menyerang Kakbah.
Abu Bakar melanjutkan, "Sungguh aku menerima dengan hati terbuka dan lapang dada untuk menjadi pemimpin kalian adalah salah seorang dari dua orang ini (Umar bin Khattab atau Abu Ubaidah). Maka baiatlah di antara keduanya yang mana yang kalian sukai."
Namun Umar menolaknya. Dia enggan mengurusi urusan kaum Muslimin selagi ada Abu Bakar di tengah – tengah mereka. Umar sangat menghormati Abu Bakar.
Seorang Anshar tiba – tiba berucap sesuatu yang berujung keributan, "Wahai orang – orang Quraisy, hendaknya ada pemimpin di antara kami dan pemimpin di antara kalian."
Padahal jelas Rasulullah melarang ini. Hanya boleh ada satu pemimpin di tengah – tengah umat. Dualisme kepemimpinan bukanlah solusi, justru ini akan menjadi awal perpecahan.
Suara – suara yang hadir dalam Balai Pertemuan itu makin meninggi. Umar khawatir sebentar lagi, jika tidak bertindak cepat, konflik sesama sahabat akan terjadi.
"Hai kaum Anshar," Umar mulai berusaha mencegah hal itu terjadi, "tidakkah kalian mengetahui bahwa Rasulullah memerintahkan Abu Bakar untuk mengimami salat?" "Ya, kami tahu itu," jawab mereka. "Lantas siapa di antara kalian yang ingin melangkahinya?" Umar bertanya dengan suara lantang. "Allah melarang kami melangkahinya." Jawab mereka.
"Ulurkan tanganmu, wahai Abu Bakar." Dengan cepat Umar langsung membaitnya, diikuti oleh kaum Muhajirin dan Anshar. Sedang Saad bin Ubadah tidak membaiatnya. Dia tidak pernah mengakui kekhalifahan Abu Bakar, yang membuatnya meninggalkan Madinah dan pindah ke Suriah.
Peristiwa itu terjadi begitu cepat. Ini masih di hari Senin, di hari wafatnya Rasulullah SAW.
Para sahabat yang hadir di Balai Pertemuan itu, baik dari kaum Muhajirin maupun Anshar, telah mencapai kesepakatan yang tepat. Tentu saja setelah mereka mengesampingkan ego masing – masing kelompok. Tidak ada yang pantas di antara mereka saat itu, selain Abu Bakar, yang dapat diterima menjadi imam, menggantikan Rasulullah, untuk mengimami salat di masjid Nabawi.
Ini seolah menjadi isyarat Rasulullah untuk memilih Abu Bakar, bukan kerabat Rasulullah sendiri, untuk menjadi pemimpin sesudah Rasulullah wafat. Jika Rasulullah lebih mempercayakan urusan akhirat kepada Abu Bakar, barangkali tidak terbantahkan juga untuk mengatakan bahwa Abu Bakar juga yang paling berhak untuk dipercayakan urusan dunia umat ini.
Keesokan harinya, sebelum Abu Bakar mengimami salat fajar, dia duduk di atas mimbar. Umar tampil berbicara di hadapan jemaah, mengajak mereka berbaiat kepada Abu Bakar, yang dia gambarkan sebagai "sahabat Rasulullah yang terbaik di antara kalian" Umar membacakan penggalan ayat yang artinya, "salah seorang di antara dua orang yang berada di dalam gua." (QS. At Taubah: 40)
Semua jemaah dan penduduk kota Madinah mengikuti ajakan Umar untuk membaiat Abu Bakar. Maka sejak hari itu, terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah secara aklamasi, yang menandai bermulanya sejarah peradaban Islam, yang dimulai dari Kota Cahaya, membentang ke arah Timur dan Barat, selama berabad – abad.
Dan sejarah itu bermula dari Saqifah Bani Saidah, yang letaknya berjarak 20 meter saja dari masjid Nabawi, ke arah Barat.
Hari ini, otoritas setempat menjadikan tempat itu sebagai taman yang bisa diziarahi. Pada saat di sekeliling tempat itu telah didirikan hotel dan bangunan lainnya, tempat itu masih tetap terjaga dengan baik, untuk menjaga ingatan kaum Muslimin akan tempat penting itu dan peristiwa yang pernah terjadi di dalamnya.