UNFPA: Keterbatasan Keuangan Jadi Hambatan Orang di Dunia Punya Banyak Anak - my blog

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
UNFPA: Keterbatasan Keuangan Jadi Hambatan Orang di Dunia Punya Banyak Anak
Jul 6th 2025, 09:00 by kumparanWOMAN

Deputi Bidang Pengendalian Penduduk Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Dr Bonivasius Prasetya Ichtiarto (kiri) dan UNFPA Indonesia Representative Hassan Mohtashami (kanan) di Konferensi Pers Laporan SWP, Kantor PBB, Jakarta Pusat, Kamis (3/7/2025). Foto: Judith Aura/kumparan
Deputi Bidang Pengendalian Penduduk Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Dr Bonivasius Prasetya Ichtiarto (kiri) dan UNFPA Indonesia Representative Hassan Mohtashami (kanan) di Konferensi Pers Laporan SWP, Kantor PBB, Jakarta Pusat, Kamis (3/7/2025). Foto: Judith Aura/kumparan

Angka populasi dunia saat ini menjadi sorotan. Banyak negara tengah mengalami penurunan angka kelahiran, seperti Korea Selatan dan Jepang. Ini memunculkan rasa khawatir karena jika populasi lansia terus meningkat sementara jumlah populasi muda menurun, maka semakin sedikit populasi yang akan menopang ketenagakerjaan.

Berangkat dari diskursus tersebut, badan PBB yang mengurus kesehatan seksual dan reproduksi, UNFPA, melakukan survei untuk mencari tahu penyebab penurunan angka kelahiran dan apakah orang-orang di dunia dapat mewujudkan keluarga yang diinginkan.

Lewat laporan bertajuk Situasi Kependudukan Dunia (State of World Population, SWP) 2025, terungkap bahwa mayoritas orang di dunia sebenarnya ingin memiliki dua anak atau lebih. Namun, beberapa faktor menyebabkan mereka, termasuk perempuan, tidak mampu memenuhi keinginan tersebut.

"Bukannya orang-orang tidak ingin punya anak; mereka tidak mampu melakukannya akibat situasi dunia. Mereka ingin punya lebih banyak anak, tetapi tidak bisa," ucap Perwakilan UNFPA di Indonesia, Hassan Mohtashami, dalam konferensi pers di Kantor PBB, Jakarta, Kamis (3/7).

Ekonomi, hambatan utama keinginan fertilitas

Konferensi Pers Laporan State of World Population UNFPA 2025 di Kantor PBB, Jakarta Pusat, Kamis (3/7/2025). Foto: Judith Aura/kumparan
Konferensi Pers Laporan State of World Population UNFPA 2025 di Kantor PBB, Jakarta Pusat, Kamis (3/7/2025). Foto: Judith Aura/kumparan

UNFPA melakukan survei bersama YouGov dengan 14.000 partisipan yang tersebar di 14 negara. Negara-negara yang dipilih merupakan rumah bagi 37 persen populasi dunia dan dibagi ke dalam tiga kategori, yakni negara dengan angka kelahiran di bawah 1,5 anak per ibu, angka kelahiran 1,5–2,1 anak per ibu, dan angka kelahiran di atas 2,1 anak per ibu. Indonesia, berada di kategori kedua, menjadi salah satu negara yang disurvei.

Hasil dari survei tersebut menunjukkan bahwa secara global, 62 persen perempuan dan 61 persen laki-laki ingin memiliki dua anak atau lebih. Di Indonesia, angkanya mencapai 74 persen perempuan dan 77 persen laki-laki.

Ilustrasi keluarga. Foto: Shutterstock
Ilustrasi keluarga. Foto: Shutterstock

Kendati demikian, keterbatasan finansial menjadi alasan utama mereka tidak bisa memiliki jumlah anak yang diinginkan. Di Indonesia sendiri, tiga hambatan utama mereka adalah keterbatasan finansial (39 persen responden), keterbatasan perumahan (22 persen), dan ketidakamanan pekerjaan atau pengangguran (20 persen).

Selain itu, responden juga mengeluhkan situasi dunia yang berpotensi tidak aman untuk masa depan anak. 1 dari 5 responden mengkhawatirkan masa depan dunia, mulai dari potensi perang, pandemi, hingga perubahan iklim membuat mereka memiliki lebih sedikit anak dari yang diinginkan.

Keputusan punya anak harus ada di tangan perempuan

Ilustrasi keluarga. Foto: Virojt Changyencham/Shutterstock
Ilustrasi keluarga. Foto: Virojt Changyencham/Shutterstock

Di tengah sulitnya memiliki anak akibat kondisi keuangan, kebijakan di berbagai negara justru dianggap membebankan kewajiban melahirkan lebih banyak anak kepada para perempuan di dunia.

Dalam laporannya, UNFPA mengatakan, tak sedikit aturan negara-negara itu meliputi tindak pemaksaan yang mengancam HAM dan otonomi tubuh warga negara mereka.

Hassan Mohtashami pun menegaskan, keputusan fertilitas atau keputusan untuk memiliki anak haruslah berada di tangan perempuan, bukan dalam bentuk pemaksaan.

"Pesan utamanya adalah fertilitas, berapa banyak perempuan ingin punya anak, adalah konstruksi sosial-ekonomi. Ini adalah keputusan yang kompleks, banyak pertimbangan di dalamnya," ujar Hassan.

Ilustrasi Ibu dan Anak Foto: Manop Boonpeng/Shutterstock
Ilustrasi Ibu dan Anak Foto: Manop Boonpeng/Shutterstock

"Semenjak 50, 60 tahun lalu, populasi meningkat dan semua orang mendesak perempuan untuk punya lebih sedikit anak. Sekarang populasi menurun, perempuan diminta harus punya lebih banyak anak; tiga, lima, sepuluh anak. Mau punya berapa anak, satu, dua, tiga, sepuluh anak, itu adalah hak perempuan untuk mengambil keputusan tersebut. Tidak ada yang bisa menyuruh perempuan, karena itu adalah keputusan perempuan," lanjutnya.

Ia menekankan, sepatutnya para pemangku jabatan membantu perempuan untuk mewujudkan cita-cita keluarganya dengan cara menghilangkan hambatan-hambatan yang ada.

"Sebagaimana Anda tahu, perempuan ingin memiliki anak, tetapi tidak bisa karena finansial, rumah, dan pekerjaan. Jika kita bisa mengatasi masalah itu, keinginan perempuan soal fertilitas akan bisa tercapai dan angkanya bisa berada di level yang diinginkan," pungkasnya.

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.
Next Post Previous Post