Siapa yang kalau makan harus ada sambalnya? Kalau kamu salah satunya, tenang, kamu enggak sendiri. Menurut survei Licorice, sebanyak 93,6 persen masyarakat Indonesia menyukai makanan pedas. Jadi, tak heran, hampir di setiap meja makan selalu tersedia sambal sebagai pelengkap utamanya.
Tapi, tahukah kamu bahwa makanan pedas enggak cuma bisa bikin makan makin lahap, tapi juga punya pengaruh terhadap kesehatan tubuh?
Menurut Karina Rahmadia Ekawidyani, Dosen Departemen Gizi Masyarakat IPB University, makanan pedas memiliki dampak positif maupun negatif bagi kesehatan, tergantung dari seberapa sering dan seberapa banyak kita mengonsumsinya.
"Konsumsi berlebihan dapat mengiritasi saluran cerna dan meningkatkan refluks asam lambung yang menyebabkan gejala seperti mulas, sakit perut, kembung, diare hingga muntah," kata Karina dikutip dari laman IPB Uniersity, Selasa (8/7).
Namun, jika dikonsumsi dalam jumlah yang wajar, makanan pedas justru bisa memberikan manfaat bagi tubuh. Salah satunya adalah kandungan cabai yang kaya akan vitamin C dan vitamin A. Kedua vitamin ini berperan sebagai antioksidan yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh dan melindungi dari berbagai penyakit.
Lebih dari itu, cabai juga mengandung capsaicin, zat aktif yang bertanggung jawab atas sensasi pedas di lidah. Karina menyebut capsaicin juga memiliki manfaat lain untuk kesehatan, salah satunya adalah menghambat pertumbuhan sel kanker tanpa merusak sel sehat di sekitarnya.
Ilustrasi makan makanan pedas. Foto: Shutterstock
Senada dengan Karina, penelitian yang dilakukanDosen Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, dkk, menemukan bahwa di bidang farmasi, selain menghilangkan rasa sakit atau nyeri, capsaicin juga bisa diketahui memiliki aktivitas antikanker.
Dikutip dari laman resmi Universitas Airlangga, capsaicin diketahui dapat menghambat pembentukan seluruh metabolit 4-(methylnitrosamino)-1-(3-pyridyl)-1-butanone (NNK) oleh berbagai fraksi mikrosomal, serta menghambat proses α-hidroksilasi oleh mikrosom. Temuan ini menunjukkan bahwa capsaicin sebagai senyawa alami dalam makanan memiliki sifat antimutagenik dan antikarsinogenik, melalui mekanisme penghambatan enzim metabolik xenobiotik.
Capsaicin (8-methyl-N-vanillyl-6-nonenamide) juga terbukti dapat menekan mutagenisitas dan pengikatan DNA dari beberapa bahan kimia bersifat karsinogenik, dengan cara menghambat aktivasi metaboliknya di dalam sel. Salah satu contohnya adalah kemampuan capsaicin dalam menghambat biotransformasi Aflatoksin B1 (AFB1) melalui modifikasi aktivitas enzim hati, terutama pada fase metabolisme bahan kimia karsinogenik.
Temuan ini menunjukkan bahwa ketika AFB1 masuk ke dalam tubuh, senyawa tersebut berpotensi mengaktifkan protein onkogenik seperti AKT1 dan MAPK1, yang pada akhirnya dapat memicu timbulnya karsinoma hepatoseluler (HCC) atau kanker hati. Dengan demikian, capsaicin dinilai memiliki potensi sebagai agen pencegahan kanker, khususnya kanker hati.
Sambal, ilustrasi makanan pedas. Foto: Shutterstock
Selain menghambat pertumbuhan sel kanker, Karina menyebut bahwa capsaicin juga memiliki efek analgesik (pereda nyeri) dan anti-inflamasi (anti peradangan). Tak hanya itu, zat aktif dalam cabai ini juga berdampak positif pada sistem kardiovaskular dan metabolik, seperti membantu memperbaiki profil lipid dan meningkatkan fungsi endotel atau dinding pembuluh darah.
Capsaicin juga dikenal efektif membantu menurunkan berat badan. Zat ini mampu meningkatkan suhu tubuh dan mempercepat metabolisme, sehingga kalori dalam tubuh terbakar lebih cepat.
Namun, Karina mengingatkan bahwa meskipun memiliki sejumlah manfaat kesehatan, konsumsi makanan pedas secara berlebihan tetap bisa menimbulkan efek negatif. Beberapa dampak yang mungkin muncul adalah insomnia, penurunan sensitivitas lidah, bahkan meningkatnya risiko gangguan fungsi kognitif.
"Penelitian menunjukkan bahwa orang yang rutin mengonsumsi lebih dari 50 gram cabai per hari memiliki risiko penurunan kognitif hampir dua kali lebih besar dibandingkan mereka yang mengonsumsi dalam jumlah lebih sedikit," jelasnya.
Soal toleransi terhadap makanan pedas, Karina menekankan bahwa setiap orang memiliki batas yang berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh faktor genetik, pengalaman, dan kondisi psikologis masing-masing individu.
"Capsaicin menstimulasi Receptor Potencial Transient Vanilloid (TRPV1) yang mengirimkan sinyal rasa sakit ke otak. Setiap individu memiliki tingkat toleransi reseptor yang berbeda. Bahkan, ada orang yang lahir tanpa reseptor ini, sehingga tidak merasakan pedas," ujar dia.
Ia juga menambahkan bahwa toleransi terhadap makanan pedas dapat meningkat jika dikonsumsi secara rutin. Selain faktor fisiologis, persepsi atau anggapan bahwa makanan terlalu pedas juga bisa memengaruhi bagaimana tubuh merespons rasa tersebut.