Calon siswa Sekolah Rakyat mengikuti kegiatan program simulasi Sekolah Rakyat di Sentra Handayani, Jakarta Timur pada Rabu (9/7/2025). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Sejumlah anak-anak yang masih berseragam SD nampak kagum, melihat ruang tidur mereka kelak. Ada dua tempat tidur tingkat, dan empat kursi dan meja belajar yang berjajar rapi.
Mereka mencoba duduk di kursi-kursi itu. Di tempat ini, Asrama Sekolah Rakyat Sentra Handayani, Jakarta Timur, masa depan mereka beberapa tahun ke depan akan dimulai.
Ini bukan sekadar perpindahan tempat tinggal. Bagi mereka, ini adalah langkah awal menuju kehidupan yang berbeda.
Ada 75 siswa dari berbagai penjuru Jakarta mengikuti simulasi Sekolah Rakyat di hari ini, Rabu (9/7).
Ruangan dan fasilitas Sekolah Rakyat di Sentra Handayani, Bambu Apus, Jakarta Timur, Rabu (9/7/2025). Foto: Nasywa Athifah/kumparan
Sekolah Rakyat adalah program Presiden Prabowo Subianto yang dirancang untuk memberi akses pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin ekstrem.
Salah satu siswa yang mengikuti Sekolah Rakyat adalah Zahwa (13), lulusan SD Negeri Ciracas 01. Ia terlihat bersemangat, meski tahu akan terpisah jauh dengan orang tua selama tinggal di asrama.
"Karena aku tuh memang biasa di rumah mandiri, jadi tuh aku suka sama hal-hal yang kayak hidup sendiri gitu, enggak sama orang tua. Terus di sini kan pergaulannya juga lebih tertata gitu," ujarnya.
Zahwa berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya bekerja sebagai buruh serabutan, sementara ibunya seorang ibu rumah tangga. Situasi ekonomi keluarga membuatnya sejak kecil terbiasa hidup hemat dan mandiri.
Talitha (12), siswa Sekolah Rakyat di Sentra Handayani, Bambu Apus, Jakarta Timur, Rabu (9/7). Foto: Nasywa Athifah/kumparan
Untuk menambah uang jajan, ia biasa berjualan kue mochi buatannya sendiri.
"Tiba-tiba kepikiran buat jualan karena teman-teman itu suka ngajakin pergi mendadak. Tapi aku kan ekonomi keluarga nggak begitu bagus ya," jelas Zahwa.
"Aku mikir gimana caranya aku punya uang buat ikut pergi. Akhirnya aku ngide jualan mochi," lanjutnya.
Berbekal tayangan YouTube, ia belajar membuat mochi secara otodidak. Ia bermimpi, suatu saat nanti jadi pengusaha kue.
"Kalau cita-cita aku pengin jadi pengusaha kuliner, aku pengin buka toko kue," ungkap Zahwa.
Antusiasme dan Semangat di Antara Kegugupan dan Kecemasan
Rasa gugup dan rindu memang tidak bisa dihindari. Namun di antara perasaan itu, ada juga antusiasme dan semangat baru.
Awalnya, Zahwa sempat deg-degan begitu tahu harus tinggal di asrama dan jauh dari orang tua. Ibunya bahkan sempat ragu melepas kepergiannya.
"Awalnya deg-degan banget, gugup banget. Terus ayah bilang, 'enggak apa-apa, coba aja dulu biar makin disiplin, makin mandiri.' Terus aku juga awalnya takut kangen gitu," tutur Zahwa.
Tapi karena kepribadiannya yang terbuka dan suka bergaul, ia cepat beradaptasi.
"Karena aku anaknya ekstrovert, jadi di sini lumayan biasa aja waktu sudah ke sini. Cuma mungkin rasa kangen pasti masih ada," jelasnya.
Lain dengan Zahwa, Talitha (12), yang berasal dari Cipinang (Jakarta Timur), justru tersenyum ketika ditanya soal tinggal di asrama.
Arifin (12), Haidar (14), dan Hafi (13), siswa Sekolah Rakyat di Sentra Handayani, Bambu Apus, Jakarta Timur, Rabu (9/7). Foto: Nasywa Athifah/kumparan
Lalu ada juga Haidar (14) dari Cengkareng (Jakarta Barat), Hafi (13) dari Semper Barat (Jakarta Utara), dan Arifin (12) dari Cipinang (Jakarta Timur). Mereka bertiga baru saling kenal pagi itu, tapi mereka cepat akrab.
Saat ditanya, kapan mereka berkenalan, salah satunya menjawab:
"Tadi, barusan banget," kata Haidar tertawa.
Salah satu dari mereka Arifin sempat merasa cemas tinggal jauh dari orang tua. Tapi saat ditemui, mereka tampak antusias dengan pengalaman baru itu.
"Deg-degan, belum bisa sendiri tadinya. Ini baru sendiri," ungkap Arifin.
"Senang aja, senang," kata Hafi singkat menimpali.
Pesan Orang Tua di Depan Sekolah Rakyat: Sengsara Cukup Orang Tua, Anak Jangan
Saat anak-anak baru itu nampak antusias masuk Sekolah Rakyat, ada orang-orang tua siswa yang berjuang melepaskannya. Nurseha (50), ibu dari salah satu siswa bernama Laras, menahan haru saat bicara tentang Sekolah Rakyat.
"Saya mah adanya sekolah ini, Alhamdulillah, bersyukur banget sama pemerintah, adanya sekolah ini. Sangat ngebantu banget dengan keadaan saat inilah, Alhamdulillah," ujarnya.
Suaminya, Rosyid (55), menimpali dengan tenang:
"Sengsara cukup orang tuanya, anak jangan."
Pasangan suami istri ini adalah pedagang kecil. Mereka menjual gorengan di depan rumah mereka, di Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Rosyid (55) dan Nurseha (50), orang tua siswa Sekolah Rakyat di Sentra Handayani, Bambu Apus, Jakarta Timur, Rabu (9/7). Foto: Nasywa Athifah/kumparan
Awalnya mereka tak tahu tentang program Sekolah Rakyat ini. Sampai suatu hari, petugas Kemensos datang membawa kabar soal Sekolah Rakyat.
"Datang ke rumah ngasih kabar. 'Saya dapat data dari departemen sosial, mau diambil dari Sekolah Rakyat, boleh nggak?' Kalau saya sendiri tanya, nggak bisa ngambil keputusan. Nanti saya tanya yang bersangkutan, ibunya gitu," cerita Rosyid menjelaskan proses awal mereka mengenal Sekolah Rakyat.
"Katanya orang yang termiskin ekstrem," ungkap Nurseha lirih.
Nurseha dan Rosyid pun mengungkapkan harapan yang besar untuk anak mereka.
"Kalau harapan orang tua, anak punya pendidikan, jangan sampai kayak orang tuanya," ujar Rosyid.
"Kalau dia pintar, derajatnya, dia menggantikan menteri juga bolehlah," timpalnya.
Harapan Sederhana para Siswa
Sekolah Rakyat memberi harapan bagi para siswa-siswa baru seperti Zahwa, Talitha, hingga Haidar dan kawan-kawannya.
Zahwa misalnya, ia punya harapan sederhana: membanggakan kedua orang tuanya.
"Setelah lulus, aku pengin keluarga punya rasa bangga sama aku, terus juga mereka ngerasain perubahan-perubahan aku, mungkin aku lebih mandiri, lebih fokus, atau lebih bagus ngatur waktu gitu," ucap Zahwa.
Calon siswa Sekolah Rakyat melakukan registrasi sebelum mengikuti kegiatan program simulasi Sekolah Rakyat di Sentra Handayani, Jakarta Timur pada Rabu (9/7/2025). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Sementara Talitha punya harapan sederhana. Ia ingin bertemu banyak teman dan bisa mengikuti kegiatan sekolah dengan semangat baru.
"Bisa bertemu teman baru, bisa kenalan sama teman-teman yang banyak," ucapnya.
Mereka bukan sekadar siswa baru. Mereka adalah anak-anak yang sedang menata masa depan. Sekolah Rakyat menjadi rumah baru yang akan menemani perjalanan mereka menuju masa depan.