Pemberian hadiah dari orang tua murid kepada guru kerap dianggap sebagai wujud budaya timur yang melambangkan bentuk terima kasih dan penghargaan atas jasa sang pendidik.
Namun, Kepala Satuan Tugas Jejaring Pendidikan KPK, Ramah Handoko, mengingatkan, jangan sampai niat baik itu melenceng jadi praktik yang sarat konflik kepentingan. Sebab menurut dia, hal tersebut bisa mengarah pada budaya pemberian upeti.
"Budaya timur iya. Ada budaya itu. Tapi kita harus enggak lupa juga, juga ada budaya upeti di negeri ini," kata Handoko di podcast KPK berjudul 'Terima Kasih atau Melanggar' yang membahas soal potensi gratifikasi yang bisa diterima guru dari pihak keluarga murid, dikutip Selasa (3/6).
Menurutnya, perbedaan antara budaya timur dan budaya upeti sangat samar. Sehingga banyak orang yang memanfaatkan hal itu untuk menyamarkan praktik gratifikasi.
KPK sudah 4 tahun dipimpin Firli. Mengganas atau meranggas? Foto: Hedi/kumparan
"Kalau dari kakak ke adik, ibu ke anak, anak ke orang tua, oke lah itu budaya itu. Tapi kalau dari murid ke guru, itu udah upeti tuh. Bawahan ke atasan. Itu udah upeti tuh," ujarnya.
"Nah itu kadang samar jadinya antara pemberian sama upeti," tegasnya.
Di dalam siniar itu, Ramah menyoroti juga dampak budaya pemberian hadiah ini terhadap dunia pendidikan.
"Kalau dari sudut pandang pendidikan ya, terutama dalam konteks pendidikan karakter dan budaya antikorupsi, pemberian ini berpotensi memberikan budaya dan menularkan keteladanan ke generasi yang masih sekolah," ujar Ramah.
Menurutnya, pemberian hadiah bisa membentuk pemahaman keliru di kalangan siswa sejak dini bahwa memberi sesuatu itu adalah hal yang lumrah atau diwajarkan. Masalahnya, hal itu berpotensi menciptakan ketimpangan di ruang kelas.
"Kalau di lingkungan sekolah itu, konteksnya adalah melihat ini sebagai potensi favoritism. Ketika guru tahu ini anak ini orang tuanya kalau ngasih besar, itu kemungkinan besar si guru akan memperlakukan anak itu berbeda," jelasnya.
"Dan si anak pun kadang itu tahu kalau dia punya power itu," tambahnya.
Muncul Perasaan Superioritas
Lebih jauh, Ramah mengungkap bahwa perasaan superioritas ini bisa muncul di antara siswa. Ia menyebut, perasaan ini juga dialami oleh temannya.
"Saya langsung ini aja, langsung nanya (ke teman saya), dulu waktu sekolah orang tua ngasih (hadiah) nggak? Dia bilang, 'ngasih'. Besar enggak? Tahu enggak besar atau enggaknya? 'Besar'. Terus rasanya apa? Rasa kamu itu dengan teman-teman? 'Iya juga ya'. Ada rasa lebih tinggi gitu," cerita dia.
Menurut Ramah, ketimpangan semacam ini membahayakan proses pembelajaran. Maka, KPK ingin menekankan bahwa pemberian hadiah dari orang tua murid ke guru bisa dikategorikan gratifikasi. Tujuannya, untuk membangun pola pikir antigratifikasi sejak dini.
"Karena di pendidikan antikorupsi itu kan ada di dua dimensi. Dimensi pertama itu membangun karakter dengan menginsensi nilai. Kedua, membangun ekosistem pendidikannya," ucapnya.
Lalu, dalam konteks ekosistem ini, menurut Ramah, guru punya peran yang sangat besar. "Gurunya membangun nilai dengan keteladanan, dengan mata pelajaran, dengan apa pun itu. Tapi ekosistemnya juga harus menjadi contoh baik itu. Karena guru itu kan banyak larangannya," tuturnya.
Contohnya, kata Ramah, bisa sesederhana larangan merokok di lingkungan sekolah. "Kan bukan soal rokoknya tok, tapi soal guru itu akan menjadi contoh buat murid," katanya.
Ia menekankan bahwa murid adalah peniru yang sangat peka terhadap tindakan nyata.
"Karena murid itu tidak pandai mendengar. Tapi mereka pencontoh yang ulung gitu."
Karenanya, Ramah menegaskan pentingnya keteladanan dari para guru, "Dalam mendidik itu, guru itu ya digugu dan ditiru. Kapan pun itu. Kapan pun dan dimana pun," tambahnya.
Soal pemberian hadiah dari murid atau orang tua murid, Ramah mengajak semua pihak berpikir lebih jauh.
"Kita mau enggak Indonesia bebas dari korupsi? Dimulai dari lingkungan. Karena kan 80% kasus korupsi itu suap. Suap itu deket banget dengan gratifikasi kan," tandasnya.