Pernahkah kita membayangkan, bahwa dalam diamnya sebuah pelukan hangat atau dalam sejuknya tawa yang tulus dari seorang sahabat tersimpan kekuatan yang mampu menenangkan detak jantung, meredakan tekanan darah, bahkan menenangkan hiruk-pikuk sistem tubuh yang sedang gelisah? Penelitian terbaru yang diterbitkan oleh Society for Personality and Social Psychology mengungkap satu kebenaran yang selama ini mungkin tak pernah benar-benar kita sadari; hubungan sosial yang sehat, terutama persahabatan yang tulus, bisa menjadi salah satu penopang utama bagi kesehatan fisik kita.
Selama tiga minggu, lebih dari seratus individu diminta berbagi pengalaman mereka tentang tawa, tentang luka, tentang naik-turunnya dinamika relasi dengan orang-orang terdekat. Lewat ponsel dan jam tangan digital mereka, data tentang tekanan darah, detak jantung, tingkat stres, hingga cara mereka menghadapi tekanan dikumpulkan.
Melalui ponsel cerdas dan jam tangan digital mereka, para partisipan melaporkan pengalaman positif dan negatif dalam hubungan sosial mereka. Bersamaan dengan itu, data tentang tekanan darah, detak jantung, tingkat stres, dan cara mereka menghadapi tekanan hidup juga dikumpulkan.
Dan temuan utamanya begitu menyentuh. Ditemukan bahwa semakin banyak pengalaman positif dalam hubungan sosial seseorang, semakin rendah tingkat stres mereka dan semakin baik cara mereka menghadapi tekanan. Yang lebih menarik lagi, semakin stabil pula tekanan darah sistolik mereka, yaitu tekanan darah yang cenderung melonjak saat kita berada dalam situasi menegangkan.
Namun, seperti semua hal dalam hidup, hubungan sosial tidaklah hitam putih. Brian Don, peneliti utama dari University of Auckland, menggarisbawahi bahwa bukan hanya hubungan yang "baik secara keseluruhan" yang penting tapi juga bagaimana ritme harian hubungan itu bergerak. Naik-turunnya emosi, kehangatan yang datang dan pergi, atau pertengkaran yang tak selesai, semua itu berdampak pada tubuh kita.
Ketika hubungan sosial menjadi tidak stabil, ketika hari ini kita merasa dicintai tapi esok diabaikan dampak negatifnya bisa jauh lebih besar daripada manfaat dari pengalaman positif. Dalam hubungan seperti itu, tubuh kita tak lagi bisa membedakan: mana pelukan yang menyembuhkan, dan mana keheningan yang menyakitkan.
Profesor Kathleen Mullan Harris, seorang sosiolog dari University of North Carolina, menyebut bahwa meskipun studi ini tidak membuktikan bahwa hubungan yang baik menyebabkan tubuh lebih sehat, tetapi kaitan erat antara keduanya terlalu kuat untuk diabaikan. Bahkan, bisa jadi hubungan sosial dan kesehatan saling mempengaruhi: orang yang lebih sehat secara fisik cenderung lebih mudah membangun dan menjaga hubungan sosial yang sehat, karena mereka tidak lelah, tidak murung, tidak penuh keluhan.
Dan kita pun tidak bisa mengabaikan konteks zaman kita hidup sekarang: pandemi COVID-19, dengan segala keterbatasannya, telah mengubah wajah hubungan sosial kita. Tiba-tiba, keintiman menjadi ancaman. Jarak menjadi kewajiban. Banyak dari kita kehilangan ruang-ruang bersama yang dulu menjadi tempat pulih.
Menurut Don, perubahan ini tidak hanya menyentuh hati kita tapi juga tubuh. Stres meningkat. Sistem saraf menjadi lebih tegang. Kita semakin mudah lelah, semakin sulit tidur, dan tubuh merespons ketidakpastian itu dengan caranya sendiri; lewat gejala, lewat keluhan, lewat keletihan yang tak selalu bisa dijelaskan secara medis.
Bagaimana kita menyembuhkan tubuh dan jiwa yang sama-sama haus akan kehadiran? Adam Smiley Poswolsky, penulis buku Friendship in the Age of Loneliness, menawarkan satu langkah kecil: jangan tunggu sempurna, mulai saja dari yang sederhana. Kirim pesan kepada sahabat lama yang sudah jarang kita sapa. Jadwalkan satu pertemuan, satu perbincangan hangat. Bergabung dalam komunitas, kelas, atau sekadar membuat waktu untuk hadir dalam kehidupan orang lain dan membiarkan mereka hadir dalam hidup kita.
Karena pada akhirnya, persahabatan yang mendalam tidak lahir dalam semalam. Penelitian menunjukkan bahwa dibutuhkan setidaknya 90 jam kebersamaan untuk menyebut seseorang sebagai teman, dan lebih dari 200 jam untuk menyebutnya sebagai sahabat.
"Jika Anda melakukan satu hal saja, buatlah daftar lima orang yang Anda sayangi dalam hidup Anda, dan hubungi salah satu dari mereka melalui telepon," tambah Poswolsky. "Persahabatan yang paling luar biasa sering kali dimulai dari momen-momen terkecil dalam hubungan."
Maka dalam dunia yang sibuk dan tergesa-gesa, kita justru perlu menjadwalkan waktu untuk persahabatan sebagaimana kita menjadwalkan rapat, pekerjaan, atau sesi olahraga. Kita perlu mengupayakan koneksi yang bermakna, karena ia tidak datang begitu saja.
Dan ingatlah, kualitas hubungan lebih penting dari kuantitasnya. Persahabatan yang baik bukan soal seberapa sering kita bertemu, tapi bagaimana kita hadir saat dibutuhkan. Sahabat sejati adalah mereka yang tak pergi saat badai datang. Mereka yang mendengarkan tanpa menghakimi, yang merangkul saat kita jatuh, yang percaya pada kita bahkan ketika kita sendiri sedang kehilangan keyakinan.
Karena tubuh tahu. Tubuh mengingat siapa yang membuatnya merasa aman. Ia mengingat siapa yang mendekapnya saat dunia terasa terlalu berat. Dan kadang, satu tawa tulus dari sahabat bisa menjadi penyembuh yang lebih dalam dari obat mana pun.