Beberapa tahun belakangan saya akrab dengan beberapa pegawai di beberapa instansi dan lembaga. Karena bermitra dengan lembaga tersebut atau sekadar menyapa teman lama yang bekerja di lembaga tersebut.
Namun ada fenomena yang sama, duduk melingkar di pojok ruang istirahat, atau bahkan dilakukan sendiri-sendiri di tempat yang berbeda, tapi di layar ponsel mereka—saya curi pandang sekilas—tampil papan warna-warni yang saya kenal betul sejak kecil: Ludo.
Saya tersenyum kecil. Dalam hati saya bertanya, apakah ini bentuk relaksasi sejenak dari rutinitas kerja yang padat, atau sekadar cara "menyiasati" waktu agar tidak terlalu terasa lambat? Atau jangan-jangan, ini hanya alasan yang dibungkus dalam kata yang kini populer: healing?
Manusia, Waktu, dan Keisengan
Dalam dunia tasawuf, kita mengenal konsep "sirrul waqt", rahasia waktu. Para sufi menghormati waktu seperti mereka menghormati hidup itu sendiri. Karena waktu, kata Sayyidina Ali Ra, bagaikan pedang, kalau kita tidak menggunakannya, ia akan memotong kita—ia bisa memotong nafsu, atau malah memotong kesadaran. Maka manusia diberi pilihan: mengisi waktu, atau dipermainkan oleh waktu.
Tapi mari kita turun sejenak dari menara perenungan. Mari masuk ke ruang lain. Di sana, waktu seringkali membeku. Sistem lambat. Data gagal masuk. Atasan rapat, instruksi belum ada, kreativitas bisa dianggap kesalahan, maka bawahan menunggu. Apa yang harus dilakukan?
Ludo dan Psikologi Kejenuhan
Secara psikologis, permainan sederhana seperti Ludo bekerja pada zona kenyamanan emosional. Ia mudah, tidak memerlukan konsentrasi tinggi, tetapi tetap memberi sensasi kompetisi. Saat kita melempar dadu, ada harapan kecil yang muncul: angka enam. Harapan itu membuat dopamin—zat kebahagiaan dalam otak—mengalir, meski cuma sedikit. Cukup untuk membuat kita tidak bosan. Cukup untuk merasa hidup.
Permainan seperti ini juga mengaktifkan apa yang disebut coping mechanism dalam psikologi. Yakni, cara otak bertahan menghadapi tekanan. Alih-alih melawan stres dengan kemarahan, orang melawan dengan permainan. Keisengan menjadi terapi kecil, candaan menjadi katup tekanan. Maka jangan heran jika dalam permainan Ludo, ada canda, ada tawa, bahkan kadang ada ngambek kecil—yang justru membuat hati terasa lebih manusiawi.
Manusia Suka Bermain
Sebenarnya, jika kita telusuri sejarah, manusia sejak zaman dahulu menggunakan permainan bukan hanya untuk hiburan, tetapi juga untuk pemaknaan waktu. Di Mesir kuno, ditemukan papan permainan Senet yang diperkirakan berusia lebih dari 5.000 tahun. Di India, ada Pachisi, nenek moyang Ludo. Para raja memainkannya untuk strategi, para rakyat memainkannya untuk bersenang-senang.
Permainan selalu hadir di sela-sela keseriusan. Ia seperti jeda dalam simfoni hidup. Tanpa jeda, musik menjadi deretan nada tanpa ruh. Tanpa permainan, kerja menjadi rutinitas tanpa makna. Bahkan di pesantren-pesantren tradisional, santri diberikan waktu untuk main, olah raga dan sedikit bernasyid.
Antara Iseng dan Produktif
Tentu saja, tidak semua bentuk bermain adalah pembenaran. Ketika permainan berubah menjadi pelarian, atau lebih parah: menjadi pengabaian tugas, maka ia kehilangan cahaya kebaikannya. Di sinilah letaknya pentingnya niat dan kesadaran. Bermain bisa menjadi ibadah kecil, jika ia membuat hati lebih lapang dan pikiran lebih jernih. Tapi ia juga bisa menjadi pengkhianatan waktu, jika dilakukan hanya untuk membunuh jam kerja yang mestinya digunakan untuk melayani.
Saya tidak ingin menghakimi mereka yang bermain. Barangkali mereka sedang menunggu sistem menyala, atau sedang melemaskan pikiran sebelum menghadapi keluhan warga. Tetapi saya ingin mengajak kita semua—termasuk diri saya sendiri—untuk selalu bertanya: apakah saya sedang bermain untuk hidup, atau sedang hidup untuk bermain? Karena seperti yang dikatakan seorang ulama:
Banyak orang menyangka dirinya hidup, padahal ia hanya bergerak."