Mar 28th 2024, 12:45, by Muhammad Luthfi Humam, kumparanNEWS
Sengketa Pilpres 2024 sedang bergulir di Mahkamah Konstitusi. Hasil penetapan KPU yang menyatakan Prabowo-Gibran unggul suara sedang dipermasalahkan.
Akademisi UNJ Ubedilah Badrun menilai Pemilu kali ini tak hanya persoalan perkara yang bersifat kuantitatif saja, berupa jumlah suara. Melainkan harus ditelaah dengan pendekatan kualitatif, bagaimana kualitas dalam pelaksanaan pemilu.
Ubedillah Badrun menjadi perwakilan dari 303 Guru Besar dan Akademisi yang mengajukan Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) ke Mahkamah Konstitusi. Sebagai informasi, Amicus Curiae adalah praktik hukum oleh pihak ketiga di luar pihak yang berperkara untuk terlibat dalam peradilan.
"Jadi, ya, banyak hal yang kita sampaikan, di antaranya persoalan-persoalan bahwa perkara pemilu ini sesungguhnya bukan hanya perkara yang bersifat kuantitatif, tapi adalah perkara yang bersifat kualitatif," kata Ubed kepada wartawan di MK, Jakarta, Kamis (28/3).
Ubed berharap naskah akademik yang dikirimkan kepada 8 Hakim Konstitusi agar dapat memutuskan hasil perkara pada putusan terbaik secara adil.
"Ada proses-proses sebelum pemilu, saat pemilihan, dan sesudah pemilihan, yang memungkinkan kita untuk mempertimbangkan secara lebih komprehensif," lanjutnya.
Selain itu, Ubed menjelaskan, naskah akademik tersebut hanya diserahkan kepada delapan Hakim Konstitusi. Sebab, Anwar Usman tidak ikut mengadili Karen dikhawatirkan ada conflict of interest. Ia menyebut naskah tersebut disusun berdasarkan basis ilmu pengetahuan.
"Naskah amicus ini adalah bagian penting dari partisipasi publik, dari kaum cendekiawan, para guru besar, para akademisi, termasuk juga civil society yang jumlahnya 303 itu, kami berdiskusi sangat panjang untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan dengan basis ilmu pengetahuan," papar Ubed yang pernah melaporkan Gibran ke KPK.
Alasan mereka mengajukan Amicus Curiae adalah karena terdorong untuk mengawal jalannya demokrasi. Sengketa di MK kali ini, merupakan salah satu proses yang perlu dikawal. Mereka berharap agar Hakim MK memeriksa perkara secara menyeluruh.
"Harapan kami bahwa hakim Mahkamah Konstitusi tidak hanya memberikan keadilan yang sifatnya prosedural formal saja, keadilan angka-angka, tidak. Tapi juga memberikan keadilan substantif. Jadi melihat perkara secara holistik, melihat segala proses karena hasil itu tergantung pada prosesnya," ujar Guru Besar Antropologi Hukum UI, Sulistyowati Irianto, di tempat yang sama.