Mudahnya Dapat IPK Cum Laude di Era Sekarang, Beda Jauh dengan Mahasiswa 90-an - my blog

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Mudahnya Dapat IPK Cum Laude di Era Sekarang, Beda Jauh dengan Mahasiswa 90-an
Jun 21st 2025, 11:02 by kumparanNEWS

Ilustrasi suasana Ospek UI di Balairung. Foto: Dok. Istimewa
Ilustrasi suasana Ospek UI di Balairung. Foto: Dok. Istimewa

Saat ini, punya Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) tinggi bukan lagi hal yang luar biasa. Angka tiga koma sekian kini menjadi pemandangan umum di transkrip nilai, bahkan seolah jadi "standar minimal" yang diharapkan. Jika dibandingkan dengan mahasiswa era 1990-an, tren ini menunjukkan pergeseran yang cukup kentara.

Di Universitas Gadjah Mada (UGM), rata-rata IPK pada 2024 ada di angka 3,59. Sementara di Universitas Padjadjaran (Unpad), rata-rata IPK di periode yang sama mencapai 3,67. Adapun rata-rata IPK nasional pada 2023 ada di angka 3,39.

Dulu, IPK dua koma sekian saja sudah bisa membuat orang tua bangga dan mahasiswa merasa berhasil. Kini, angka serupa justru kerap dianggap pas-pasan, bahkan dianggap kurang layak untuk bersaing di dunia kerja.

Lantas, apa yang sebenarnya berubah? kemampuan mahasiswa atau standar penilaian kampus?

Cerita Tobas IPK Era 90-an Cuma Dua Koma Sekian

Dosen filsafat Universitas Indonesia (UI), Taufik Basari, punya cerita menarik tentang mekanisme penilaian di kampusnya. Jauh sebelum menjadi dosen, dirinya juga adalah mahasiswa yang kuliah di era 90-an. Ia pertama kali menempuh studi di Fakultas Hukum UI pada 1995, lalu kembali mengambil S1 filsafat pada 1999 di kampus yang sama.

Dosen Filsafat Universitas Indonesia (UI), Taufik Basari. Foto: Dok. Istimewa
Dosen Filsafat Universitas Indonesia (UI), Taufik Basari. Foto: Dok. Istimewa

Taufik Basari, atau akrab disapa Tobas, mengatakan bahwa selama dirinya berkuliah di Fakultas Hukum UI, terutama sebelum tahun 1997, IPK mahasiswa cenderung rendah bila dilihat dari pespektif saat ini.

"Pada saat itu kalau pengalaman FH UI dulu ya, ketika lulusan FH UI yang dikenal kecil-kecil IPK-nya, itu harus bersaing dengan kampus-kampus lain yang IPK-nya jauh lebih besar. Tapi, apakah IPK lebih besar di kampus lain itu berarti lebih unggul dibanding apa yang kita raih di FH UI? Waktu itu begitu cara pikirnya ya. Itu karena memang pelit banget (memberikan nilai) dulu di FH UI," kenang Tobas kepada kumparan, Kamis (19/6).

"Angkatan di bawah 97 itu kecil-kecil memang IPK-nya. Jadi dapet 2,80 itu orang udah bangga. Kita dapet IPK 2,8 itu berasa keren," sambungnya.

Meski begitu, lanjut Tobas, standar penilaian terus mengalami kelonggaran. Hal ini, misalnya, dirasakan ketika dirinya mulai berkuliah S1 lagi di filsafat tahun 1999. Namun Tobas juga tak merinci berapa IPK-nya saat kuliah.

"Nah jadi pengalaman gue ketika kuliah di FIB itu memang lebih mudah. Lebih mudah sedikit penilaiannya, maksudnya lebih bisa mampu untuk mendapatkan nilai yang lebih tinggi. Yang buat kita pada saat itu sudah sangat lumayan dengan kelonggaran tersebut," cerita Taufik.

"Tapi yang jelas secara umum di UI memang di tahun-tahun segitu dan sebelumnya itu punya standar IPK yang sulit, standar IPK yang tinggi," tambahnya.

Ilustrasi Universitas Indonesia. Foto: Shutter Stock
Ilustrasi Universitas Indonesia. Foto: Shutter Stock

Selama menjadi mahasiswa hingga akhirnya mengajar sebagai dosen di jurusan filsafat UI, Tobas mencoba mengkomparasikan penilaian IPK yang diterapkan saat dirinya masih menjadi mahasiswa dengan saat ini.

Di era Tobas mengajar sebagai dosen, pemberian nilai IPK juga didasarkan pada usaha (effort) si mahasiswa. Semakin besar usaha dan tanggung jawab yang diperlihatkan, maka akan mempengaruhi besarnya IPK yang didapat.

"Rata-rata yang gue perhatikan, rata-rata pengajar itu sudah tidak melihat bahwa tidak perlu harus strength (kekuatan) dalam hal nilai. Yang paling penting ada effort, kemudian dia (mahasiswa) paham dan mengerti bisa mengerjakan. Jadi justru kita merasa punya tanggung jawab yang sekarang-sekarang ini ya, punya tanggung jawab untuk mengawal bagaimana dia setelah lulus nanti. Jadi kalau kitanya terlalu ketat, 'kasihan orang ini' ada pikiran begitu tuh," jelasnya.

Ilustrasi mahasiswa. Foto: Tiwuk Suwantini/shutterstock
Ilustrasi mahasiswa. Foto: Tiwuk Suwantini/shutterstock

Menurut Tobas, penilaian yang longgar bisa disebabkan dua hal. Pertama, kata dia, kompetisi semakin tinggi. Kedua, lanjutnya, dosen turut memikirkan masa depan si mahasiswa dan tidak mau juga menjadi beban.

Tobas lalu menyinggung terkait pengajar yang bisa memberikan kesempatan lebar bagi mahasiswa. Khususnya untuk bisa memperbaiki nilai yang dirasa belum memuaskan. Sementara itu, pada saat Taufik masih menjadi mahasiswa, dia melihat pengajar cenderung tak mempedulikan kehidupan mahasiswa setelahnya.

"Nah sementara jadul di jaman dulu-dulu itu, pemikiran yang berkembang enggak peduli tuh dosen. Gue nggak peduli lo nanti gimana, pokoknya kalau gue akan ngasih nilai susah, urusan lo susah hidup, urusan lo sendiri," ungkap Tobas.

Ilustrasi mahasiswa muslim di Prancis Foto: Philippe Desmazes/AFP
Ilustrasi mahasiswa muslim di Prancis Foto: Philippe Desmazes/AFP

"Kalau sekarang para dosen sudah mulai memikirkan juga ada perasaan gimana nih di tengah kompetisi yang sangat ketat, kalau gue berkontribusi untuk mempersulit mahasiswa gue nantinya, ya mungkin ada perasaan bersalahnya dan sebagainya. Nah itu mungkin analisis gue yang membuat saat ini penilaian lebih longgar," pungkasnya.

IPK Sekarang Tinggi-tinggi

Mahasiswa angkatan 2021 yang baru diwisuda Mei 2025 dari Universitas Brawijaya, Kristiani Samosir, bercerita bahwa memperoleh IPK tinggi bukanlah yang sulit. Setidaknya, itu dapat dilihat dari teman-teman angkatannya di program studi ilmu politik

"Kalau di ilmu politik Brawijaya, rata-rata IPK teman saya 3,7 hingga 3,8. Sementara mahasiswa yang performanya kurang kayak bolos kuliah juga dapat 3,0 hingga 3,3," jelas Kristiani kepada kumparan, Selasa (17/6).

Kristiani sendiri memperoleh IPK 3,95. Nyaris sempurna, kata dia, IPK setinggi itu memang sudah lama dikejar. Sudah menjadi bagian dari prinsip hidup.

"Kalau motivasi bisa mempertahankan IPK sebesar ini sih lebih ke prinsip ya. Pendidikan itu sesuatu yang sangat penting dan itu sudah tertanam sejak kecil. Hal-hal seperti itu membuat aku merasa menganggap bahwa mempertahankan IPK sebesar itu sangat penting," jelas Kristiani kepada kumparan, Selasa (17/6).

Menurutnya, capaian IPK yang tinggi juga jadi pertanggungjawaban moril terhadap keluarganya. Apalagi, kata dia, keluarga lah yang membiayainya kuliah hingga selesai. IPK tinggi pun didedikasikan untuk mengharumkan keluarganya.

Mahasiswa Lulusan Universitas Brawijaya Tahun 2024, Kristiani Samosir Foto: Dok. Pribadi
Mahasiswa Lulusan Universitas Brawijaya Tahun 2024, Kristiani Samosir Foto: Dok. Pribadi

Kristiani mengaku tak mengalami kesulitan berarti selama kuliah di ilmu politik. Namun, ia juga menyayangkan adanya dosen yang terlalu mudah atau longgar dalam memberikan penilaian. Ia khawatir penilaian yang terlalu longgar justru mengaburkan objektivitas dosen dalam menilai mahasiswanya.

"Saya juga pernah merasakan ada dosen yang memberikan penilaian terlalu longgar dan mudah. Misalkan, kamu datang tidak pernah ada absensi yang bolong atau segala macem, kamu akan mendapatkan nilai A," jelas Kristiani.

"Menurut saya, itu skema penilaian yang tidak logis dan juga tidak kritis. Saya menemukan beberapa dosen yang melakukan sistem penilaian yang seperti itu. Mungkin hanya sedikit yang mengulik ataupun mengetahui performa mahasiswa itu di dalam kelas. Jadi masih banyak yang memberikan nilai terlalu mudah atau longgar," sambungnya.

Meskipun Kristiani berhasil meraih IPK hampir sempurna, ia juga melihat besarnya IPK yang didapat seseorang tak selalu berpengaruh pada kinerja yang bagus pula saat masuk dunia industri.

"IPK tinggi tidak selalu berpengaruh pada performa kerja yang baik juga. Mungkin performa kamu selama di dunia pendidikan akan bisa membantumu di dunia pekerjaan. Tetapi tidak dilandaskan bahwa performamu dalam pekerjaan akan sebesar seperti IPK mu. Namun, IPK hanya jadi jembatan atau faktor utama untuk diterima di pekerjaan," tutupnya.

Kemendikti: Cara Belajar Kini Student-Oriented

Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa) Ditjen Dikti, Berry Juliandi, menilai peningkatan IPK dipengaruhi oleh minat studi mahasiswa atau dikenal juga dengan student-oriented.

"⁠Peningkatan IPK dipengaruhi berbagai faktor. Salah satunya adalah pergeseran cara belajar yang student-oriented sehingga berbagai mata kuliah yang diambil merupakan minat dari mahasiswa. Cara pembelajaran saat ini juga sangat bervariasi sehingga meningkatkan interaksi antara mahasiswa dengan dosen atau mahasiswa dengan mahasiswa. Ini membuat aktivitas belajar lebih menyenangkan," jelas Berry kepada kumparan, Kamis (19/6).

Direktur Belmawa Ditjen Dikti, Berry Juliandi. Foto: Joseph Pradipta/kumparan
Direktur Belmawa Ditjen Dikti, Berry Juliandi. Foto: Joseph Pradipta/kumparan

Berry menjelaskan terkait perolehan IPK saat ini dan dahulu yang cenderung sulit diperoleh. Menurutnya, dahulu nilai IPK menjadi capaian akhir yang sangat ditelaah dengan baik. Sementara itu, kata dia, zaman berubah dan IPK bukan lagi capaian akhir utama.

"Standar nasional pendidikan sudah ditetapkan secara nasional dan tidak banyak berubah sejak dahulu. Yang membedakan adalah dahulu nilai IPK merupakan pencapaian akhir utama yang dikejar oleh mahasiswa sehingga pemberian nilai sangat ditelaah dengan baik. Saat ini, nilai IPK bukan merupakan capaian akhir utama yang dicari pengguna (user), tapi kompetensi dari mahasiswa/lulusan yang diutamakan. Walau IPK tinggi namun kompetensi kurang, maka tidak akan diminati," jelas Berry.

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.
Next Post Previous Post