Ibarat mata uang, Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sarjana di Indonesia seolah mengalami inflasi. Dulu, IPK 3,0 terasa luar biasa—sebanding dengan uang sepuluh ribu rupiah yang bisa membeli sepiring nasi, sayuran, dan sepotong ayam di warteg. Sekarang, angka IPK 3,5 bahkan tak lagi istimewa. Persis seperti uang 10 ribu rupiah yang kini cuma dapat nasi dan telur dadar.
Hal ini dapat dibuktikan dari angka IPK kampus-kampus di Indonesia yang terus naik dari tahun ke tahun. kumparan melakukan penelusuran dengan meminta data rata-rata IPK ke sejumlah kampus. Salah dua kampus yang memberikan data adalah Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Kedua kampus itu memberikan data rata-rata kenaikan IPK mahasiswa dalam 10 tahun terakhir.
Di UGM, rata-rata IPK mahasiswa pada tahun 2015 ada di angka 3,32. Angkanya kemudian konsisten naik dari tahun ke tahun. Pada 2024, rata-rata IPK mahasiswa mencapai 3,59. Adapun syarat cumlaude di kampus adalah memperoleh IPK minimal 3,51 serta menyelesaikan studi dalam waktu paling lama sepuluh semester.
Hal serupa juga terjadi di Unpad. Pada 2015, rata-rata IPK mahasiswa ada di angka 3,36. Lalu dalam 10 tahun, rata-rata IPK melesat ke angka 3,67. Serupa dengan UGM, syarat cum laude di kampus itu juga memperoleh IPK minimal 3,51 serta menyelesaikan studi dalam waktu paling lama sepuluh semester.
IPK merupakan indikator penilaian yang diterapkan di kampus-kampus Indonesia dengan skala 4. Berdasarkan Permendikbud No. 3 tahun 2020, IPK menjadi ukuran keberhasilan akademik mahasiswa yang dihitung dari rata-rata tertimbang semua nilai mata kuliah yang telah ditempuh sampai dengan waktu tertentu.
IPK seringkali digunakan mahasiswa sebagai patokan dalam keberhasilannya selama belajar di perkuliahan. Tak hanya itu, di sejumlah perusahaan, IPK menjadi salah satu syarat yang digunakan dalam proses kualifikasi.
Rektorat Unpad Sebut Ada Perubahan Sistem
Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Padjadjaran, Prof. Zahrotur Rusyda Hinduan angkat bicara tentang kenaikan rata-rata IPK Unpad. Menurut Zahrotur, kenaikan IPK di Unpad dipengaruhi perubahan sistem akademik dan kurikulum di Indonesia.
"Kalau misalnya Anda perhatikan kan ada perubahan. Sempat ada perubahan sistem akademik dan kurikulum yang berlaku di Indonesia. Ya, yaitu misalnya MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka). Kalau MBKM itu kan mahasiswa diberi kesempatan untuk belajar di luar kampus selama tiga semester," ucap Zahrotur kepada kumparan, Selasa (18/6).
Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Padjadjaran, Prof. Zahrotur Rusyda Hinduan. Foto: Dok. Unpad
Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) merupakan program yang digagas Kemendikbudristek pada 2020 lalu. Dalam program ini, mahasiswa diberikan kebebasan dalam mengeksplorasi dirinya pengetahuan dan pengalaman di luar kegiatan belajar mengajar di kampus.
Beberapa kegiatan yang ada dalam program MBKM di antaranya magang di industri atau perusahaan, kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN), mengikuti program pertukaran pelajar, mengembangkan kegiatan kewirausahaan, terlibat dalam proyek penelitian atau riset, melakukan kegiatan proyek kemanusiaan, mengikuti program kampus mengajar dan Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB).
"Nah, ketika ada kebebasan seseorang itu memilih, maka bisa jadi dia akan memilih sesuatu yang menarik minatnya ya. Ketika seseorang itu mencari sesuai dengan minatnya, maka mau tidak mau pasti memang ada curiosity. Kemudian ada keinginan mungkin untuk mempelajari lebih dalam, ada motivasinya internal gitu ya. Dan juga ketika seseorang happy itu lebih mudah masuk kali ya daripada sedang bad mood gitu ya," sambung Zahrotur.
Ilustrasi magang. Foto: mojo cp/Shutterstock
Menurutnya, MBKM memang diarahkan untuk mengikuti outcome based education. Mahasiswa yang memiliki keinginan untuk mendapatkan pekerjaan tertentu akan difasilitasi dengan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan bidang yang diinginkan.
"Outcome based education itu memang kita diminta untuk membuat kurikulum sesuai dengan nantinya akan bekerja apa orang tersebut. Anda mau jadi wartawan sehingga misalnya Anda harus punya pengetahuan, Anda harus misalnya melakukan praktikum wawancara ke teman Anda. Itu kan fun ya," jelas Zahrotur.
"Kemudian Anda nanti praktiknya atau internship-nya itu gak mungkin di tempat yang lain, pasti terkait dengan kewartawanan Anda. Jadi itu kan makin menguatkan, makin menguatkan, makin menguatkan gitu. Sehingga memang ada pathway tertentu," sambungnya.
Ilustrasi mahasiswa. Foto: Shutterstock
Selain itu, kata dia, adanya project dan attitude juga menambah penilaian IPK mahasiswa di kampus. Menurutnya, dosen-dosen juga melihat upaya sekecil apa pun yang dilakukan mahasiswa.
"Kalau dulu kan memang lebih banyak knowledge gitu ya, paper and pencil gitu. Sekarang tuh by project gitu. Bisa jadi dengan adanya project-project itu, kan kami juga melihat ya ketika Capaian Pembelajaran Mata Kuliah (CPMK) itu kan pastinya tidak hanya knowledge, tapi bagaimana dia attitude-nya. Kemudian bagaimana kami juga menghargai usaha yang dilakukannya, dan lain sebagainya. Sehingga kemungkinan seseorang itu mendapatkan nilai yang lebih tinggi, lebih besar peluangnya." tambahnya.
IPK Tinggi Juga Terjadi Secara Nasional
kumparan sebetulnya sudah meminta data rata-rata IPK nasional ke Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti). Permintaan data dilayangkan kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Namun, hingga tulisan ini diterbitkan, jawabannya masih 'dalam proses'.
Meski begitu, tren kenaikan IPK secara nasional dapat dilihat dalam publikasi Statistik Pendidikan Tinggi edisi 2021, 2022, dan 2023. Meski dokumen publikasinya terbatas, publikasi tersebut menggambarkan bagaimana capaian rata-rata IPK mahasiswa secara nasional dalam tiga tahun terakhir.
Data di atas adalah IPK sarjana secara nasional, yang terdiri dari gabungan kampus negeri dan swasta serta berbagai bidang ilmu. Yakni, teknik, sosial, seni, pertanian, pendidikan, MIPA, kesehatan, humaniora, ekonomi, dan agama.
Di bidang teknik, Jakarta menjadi provinsi dengan mahasiswa yang memiliki rata-rata IPK tertinggi mencapai 3,44, kemudian disusul dengan Jawa Tengah dengan IPK sebesar 3,43. Provinsi dengan IPK tertinggi pada bidang sosial terdapat di tiga wilayah, yaitu Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, dan Yogyakarta dengan IPK mencapai 3,55.
Pada bidang seni, IPK tertinggi dipegang provinsi Sulawesi Utara sebesar 3,76. Kemudian, disusul Kalimantan Barat dengan IPK sebesar 3,65. Di bidang pertanian, wilayah Bali memegang rata-rata IPK tertinggi dengan nilai 3,58 dan disusul wilayah Sulawesi Utara serta Jakarta sebesar 3,56.
Sementara itu, pada bidang pendidikan, Yogyakarta menjadi provinsi dengan IPK tertinggi mencapai 3,60. Disusul Bali dengan capaian rata-rata IPK tertinggi 3,59.
Sementara bila dilihat dari bidang keilmuan pada 2023, rata-rata IPK mahasiswa kesehatan dan seni mencapai 3,44. Sementara bidang teknik mencapao 3,29.
Kemendikti: Cara Belajar Kini Student-Oriented
Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa) Ditjen Dikti, Berry Juliandi, menilai peningkatan IPK dipengaruhi oleh minat studi mahasiswa atau dikenal juga dengan student-oriented.
"Peningkatan IPK dipengaruhi berbagai faktor. Salah satunya adalah pergeseran cara belajar yang student-oriented sehingga berbagai mata kuliah yang diambil merupakan minat dari mahasiswa. Cara pembelajaran saat ini juga sangat bervariasi sehingga meningkatkan interaksi antara mahasiswa dengan dosen atau mahasiswa dengan mahasiswa. Ini membuat aktivitas belajar lebih menyenangkan," jelas Berry kepada kumparan, Kamis (19/6).
Direktur Belmawa Ditjen Dikti, Berry Juliandi. Foto: Joseph Pradipta/kumparan
Berry mengaku tidak ada perubahan kurikulum yang dilakukan untuk peningkatan IPK secara nasional sejak program MBKM diterapkan. Ia menilai pengajaran dengan student-oriented memiliki peran besar dalam perolehan IPK mahasiswa.
Selain itu, Berry menjelaskan terkait perolehan IPK saat ini dan dahulu yang cenderung sulit diperoleh. Menurutnya, dahulu nilai IPK menjadi capaian akhir yang sangat ditelaah dengan baik. Sementara itu, kata dia, zaman berubah dan IPK bukan lagi capaian akhir utama.
"Standar nasional pendidikan sudah ditetapkan secara nasional dan tidak banyak berubah sejak dahulu. Yang membedakan adalah dahulu nilai IPK merupakan pencapaian akhir utama yang dikejar oleh mahasiswa sehingga pemberian nilai sangat ditelaah dengan baik. Saat ini, nilai IPK bukan merupakan capaian akhir utama yang dicari pengguna (user), tapi kompetensi dari mahasiswa/lulusan yang diutamakan. Walau IPK tinggi namun kompetensi kurang, maka tidak akan diminati," jelas Berry.
Meski begitu, ia juga menyebut pemberian besaran IPK kepada mahasiswa sepenuhnya berada di tangan kampus.
"Pemberian nilai termasuk IPK adalah otonomi setiap perguruan tinggi. Dikti hanya memastikan bahwa standar nasional pendidikan terpenuhi," tutup Berry.
Tulisan Ini Juga Merupakan Kontribusi Muhammad Falah Nafis