Cari Tahu Kenapa Rata-rata IPK Sarjana di RI Tinggi hingga Dapat Cum Laude - my blog

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Cari Tahu Kenapa Rata-rata IPK Sarjana di RI Tinggi hingga Dapat Cum Laude
Jun 22nd 2025, 04:00 by kumparanNEWS

Ilustrasi wisuda Foto: Shutterstock
Ilustrasi wisuda Foto: Shutterstock

Ibarat mata uang, Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sarjana di Indonesia seolah mengalami inflasi. Dulu, IPK 3,0 terasa luar biasa—sebanding dengan uang sepuluh ribu rupiah yang bisa membeli sepiring nasi, sayuran, dan sepotong ayam di warteg. Sekarang, angka IPK 3,5 bahkan tak lagi istimewa. Persis seperti uang 10 ribu rupiah yang kini cuma dapat nasi dan telur dadar.

Hal ini dapat dibuktikan dari angka IPK kampus-kampus di Indonesia yang terus naik dari tahun ke tahun. kumparan melakukan penelusuran dengan meminta data rata-rata IPK ke sejumlah kampus.

Salah dua kampus yang memberikan data adalah Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Kedua kampus itu memberikan data rata-rata kenaikan IPK mahasiswa dalam 10 tahun terakhir.

Di UGM, rata-rata IPK mahasiswa pada tahun 2015 ada di angka 3,32. Angkanya kemudian konsisten naik dari tahun ke tahun. Pada 2024, rata-rata IPK mahasiswa mencapai 3,59. Adapun syarat cum laude di kampus adalah memperoleh IPK minimal 3,51 serta menyelesaikan studi dalam waktu paling lama sepuluh semester.

Hal serupa juga terjadi di Unpad. Pada 2015, rata-rata IPK mahasiswa ada di angka 3,36. Lalu dalam 10 tahun, rata-rata IPK melesat ke angka 3,67. Serupa dengan UGM, syarat cum laude di kampus itu juga memperoleh IPK minimal 3,51 serta menyelesaikan studi dalam waktu paling lama sepuluh semester.

IPK merupakan indikator penilaian yang diterapkan di kampus-kampus Indonesia dengan skala 4. Berdasarkan Permendikbud No. 3 tahun 2020, IPK menjadi ukuran keberhasilan akademik mahasiswa yang dihitung dari rata-rata tertimbang semua nilai mata kuliah yang telah ditempuh sampai dengan waktu tertentu.

IPK seringkali digunakan mahasiswa sebagai patokan dalam keberhasilannya selama belajar di perkuliahan. Tak hanya itu, di sejumlah perusahaan, IPK menjadi salah satu syarat yang digunakan dalam proses kualifikasi.

Mudahnya Dapat IPK Cum Laude di Era Sekarang

Anggota Komisi III DPRI RI Taufik Basari. Foto: Dok. Mahkamah Konstitusi
Anggota Komisi III DPRI RI Taufik Basari. Foto: Dok. Mahkamah Konstitusi

Dulu, IPK dua koma sekian saja sudah bisa membuat orang tua bangga dan mahasiswa merasa berhasil. Kini, angka serupa justru kerap dianggap pas-pasan, bahkan dianggap kurang layak untuk bersaing di dunia kerja.

Lantas, apa yang sebenarnya berubah? kemampuan mahasiswa atau standar penilaian kampus?

Dosen filsafat Universitas Indonesia (UI), Taufik Basari, punya cerita menarik tentang mekanisme penilaian di kampusnya. Jauh sebelum menjadi dosen, dirinya juga adalah mahasiswa yang kuliah di era 90-an. Ia pertama kali menempuh studi di Fakultas Hukum UI pada 1995, lalu kembali mengambil S1 filsafat pada 1999 di kampus yang sama.

Taufik Basari, atau akrab disapa Tobas, mengatakan bahwa selama dirinya berkuliah di Fakultas Hukum UI, terutama sebelum tahun 1997, IPK mahasiswa cenderung rendah bila dilihat dari pespektif saat ini.

"Pada saat itu kalau pengalaman FH UI dulu ya, ketika lulusan FH UI yang dikenal kecil-kecil IPK-nya, itu harus bersaing dengan kampus-kampus lain yang IPK-nya jauh lebih besar. Tapi, apakah IPK lebih besar di kampus lain itu berarti lebih unggul dibanding apa yang kita raih di FH UI? Waktu itu begitu cara pikirnya ya. Itu karena memang pelit banget (memberikan nilai) dulu di FH UI," kenang Tobas kepada kumparan, Kamis (19/6).

"Angkatan di bawah 97 itu kecil-kecil memang IPK-nya. Jadi dapet 2,80 itu orang udah bangga. Kita dapet IPK 2,8 itu berasa keren," sambungnya.

Meski begitu, lanjut Tobas, standar penilaian terus mengalami kelonggaran. Hal ini, misalnya, dirasakan ketika dirinya mulai berkuliah S1 lagi di filsafat tahun 1999. Namun Tobas juga tak merinci berapa IPK-nya saat kuliah.

Selama menjadi mahasiswa hingga akhirnya mengajar sebagai dosen di jurusan filsafat UI, Tobas mencoba mengkomparasikan penilaian IPK yang diterapkan saat dirinya masih menjadi mahasiswa dengan saat ini.

Ilustrasi mahasiswa. Foto: Shutterstock
Ilustrasi mahasiswa. Foto: Shutterstock

Di era Tobas mengajar sebagai dosen, pemberian nilai IPK juga didasarkan pada usaha (effort) si mahasiswa. Semakin besar usaha dan tanggung jawab yang diperlihatkan, maka akan mempengaruhi besarnya IPK yang didapat.

"Rata-rata yang gue perhatikan, rata-rata pengajar itu sudah tidak melihat bahwa tidak perlu harus strength (kekuatan) dalam hal nilai. Yang paling penting ada effort, kemudian dia (mahasiswa) paham dan mengerti bisa mengerjakan. Jadi justru kita merasa punya tanggung jawab yang sekarang-sekarang ini ya, punya tanggung jawab untuk mengawal bagaimana dia setelah lulus nanti. Jadi kalau kitanya terlalu ketat, 'kasihan orang ini' ada pikiran begitu tuh," jelasnya.

Menurut Tobas, penilaian yang longgar bisa disebabkan dua hal. Pertama, kata dia, kompetisi semakin tinggi. Kedua, lanjutnya, dosen turut memikirkan masa depan si mahasiswa dan tidak mau juga menjadi beban.

Tobas lalu menyinggung terkait pengajar yang bisa memberikan kesempatan lebar bagi mahasiswa. Khususnya untuk bisa memperbaiki nilai yang dirasa belum memuaskan. Sementara itu, pada saat Taufik masih menjadi mahasiswa, dia melihat pengajar cenderung tak mempedulikan kehidupan mahasiswa setelahnya.

IPK Sekarang Tinggi-tinggi

Ilustrasi mahasiswa ujian. Foto: exam student/Shutterstock
Ilustrasi mahasiswa ujian. Foto: exam student/Shutterstock

Mahasiswa angkatan 2021 yang baru diwisuda Mei 2025 dari Universitas Brawijaya, Kristiani Samosir, bercerita bahwa memperoleh IPK tinggi bukanlah yang sulit. Setidaknya, itu dapat dilihat dari teman-teman angkatannya di program studi ilmu politik

"Kalau di ilmu politik Brawijaya, rata-rata IPK teman saya 3,7 hingga 3,8. Sementara mahasiswa yang performanya kurang kayak bolos kuliah juga dapat 3,0 hingga 3,3," jelas Kristiani kepada kumparan, Selasa (17/6).

Kristiani sendiri memperoleh IPK 3,95. Nyaris sempurna, kata dia, IPK setinggi itu memang sudah lama dikejar. Sudah menjadi bagian dari prinsip hidup.

"Kalau motivasi bisa mempertahankan IPK sebesar ini sih lebih ke prinsip ya. Pendidikan itu sesuatu yang sangat penting dan itu sudah tertanam sejak kecil. Hal-hal seperti itu membuat aku merasa menganggap bahwa mempertahankan IPK sebesar itu sangat penting," jelas Kristiani kepada kumparan, Selasa (17/6).

Menurutnya, capaian IPK yang tinggi juga jadi pertanggungjawaban moril terhadap keluarganya. Apalagi, kata dia, keluarga lah yang membiayainya kuliah hingga selesai. IPK tinggi pun didedikasikan untuk mengharumkan keluarganya.

Kristiani mengaku tak mengalami kesulitan berarti selama kuliah di ilmu politik. Namun, ia juga menyayangkan adanya dosen yang terlalu mudah atau longgar dalam memberikan penilaian. Ia khawatir penilaian yang terlalu longgar justru mengaburkan objektivitas dosen dalam menilai mahasiswanya.

Apa yang Kini Perusahaan Lihat dari Fresh Graduate?

Pengunjung dari berbagai latar belakang memadati Jakarta Job Fair di Gelanggang Mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, Selasa (15/4/2025). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Pengunjung dari berbagai latar belakang memadati Jakarta Job Fair di Gelanggang Mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, Selasa (15/4/2025). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan

Jumlah lulusan perguruan tinggi di Indonesia terus bertambah setiap tahun. Pada 2023, tercatat 1,75 juta orang menyandang gelar sarjana—naik signifikan dibandingkan tahun 2020 yang berjumlah 1,53 juta. Seiring dengan itu, rata-rata Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sarjana secara nasional pun ikut meningkat, dari 3,18 pada 2021 menjadi 3,39 pada 2023.

Namun, kenaikan jumlah lulusan dan prestasi akademik tersebut tidak serta-merta sejalan dengan serapan di dunia kerja. Tingkat pengangguran terbuka lulusan sarjana justru naik menjadi 5,25 persen pada 2024, setelah sempat menurun di tahun-tahun sebelumnya.

Lantas, apakah mempunyai IPK tinggi masih dianggap penting oleh perekrut dalam dunia pekerjaan?

Titania Dhea, seorang Recruitment Consultant di Skandasoft Solutions, menyebut tren kenaikan rata-rata IPK sarjana secara nasional termasuk positif. Namun, hal ini juga mendorong Perekrut untuk lebih selektif dalam menilai kandidat.

Titania Dhea, Recruitment Consultant. Foto: Dok. Pribadi
Titania Dhea, Recruitment Consultant. Foto: Dok. Pribadi

"Sebenarnya tren kenaikan IPK ini termasuk positif ya, namun dari perspektif HR, dalam hal ini tidak sepenuhnya menguntungkan maupun merugikan. Yang terpenting adalah bagaimana IPK tersebut dikombinasikan dengan kualitas lain dari kandidat. Tren kenaikan ini justru mendorong HR untuk lebih selektif dalam menilai kandidat, jadi tidak hanya terpaku pada IPK semata," kata Titania Dhea kepada kumparan, Rabu (18/6).

Ia juga menyampaikan IPK masih relevan dalam proses rekrutmen meskipun bukan indikator utama. Menurutnya, dunia kerja lebih mengutamakan keterampilan interpersonal dan personal.

Menurut Titania, IPK hanya sebagai salah satu hal yang diperhatikan saat menyaring secara administratif ketika akan merekrut fresh graduate. Perekrut cendurung lebih mengutamakan pengalaman magang, soft skills, dan sertifikasi.

"IPK bisa berpengaruh pada tahap awal sebagai filter administratif, terutama ketika kita ingin meng-hiring fresh graduate. Namun, pengalaman magang, soft skills, sertifikasi, dan cultural fit mendapat bobot besar dalam penilaian kandidat," ujar perempuan yang sudah terjun dalam dunia Human Resources khususnya bagian rekrutmen sejak 3 tahun lalu itu.

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.
Next Post Previous Post