Kepala BPJPH Kemenag RI Ahmad Haikal Hassan Barras menunjukkan hasil panen jagung hasil rekayasa genetik saat panen raya di lahan pertanian Desa Banyubang, Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, Selasa (10/6/2025). Foto: Alimun Khakim/ANTARA
Pernah mendengar istilah hasil rekayasa genetika? Dalam dunia pertanian, khususnya hortikultura, istilah ini sudah tidak asing lagi. Rekayasa genetik atau genetically modified organism (GMO) merupakan teknik modifikasi genetik pada tanaman untuk menghasilkan produk yang lebih tahan lama, tidak mudah layu, serta memiliki ketahanan terhadap penyakit dan perubahan cuaca.
Langkah ini biasanya diterapkan untuk memperpanjang masa simpan hasil panen, serta meningkatkan efisiensi produksi. Beberapa metode lain seperti pengaturan suhu dan kelembaban juga turut mendukung pengelolaan pasca-panen. Meski demikian, pemanfaatan teknologi ini kerap menimbulkan perdebatan di tengah masyarakat.
Sebagian orang masih khawatir bahwa rekayasa genetika dapat menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan. Namun hal tersebut dibantah oleh Dr. Ir. Darda Efendi, ahli bioteknologi buah-buahan dari Institut Pertanian Bogor (IPB).
"Rekayasa genetika yang telah sesuai dengan protokol, maka hasil rekayasa genetikanya tentu tidak berbahaya. Bahkan saat ini kedelai yang kita konsumsi (yang sebagian besar adalah kedelai impor) dan diolah menjadi tempe dan tahu merupakan hasil rekayasa genetika," kata Darda dikutip dari laman IPB University, Rabu (11/6).
Petani memilah jagung manis saat panen di Desa Paron, Kediri, Jawa Timur, Kamis (31/12). Foto: Prasetia Fauzani/ANTARA FOTO
Tak hanya aman dikonsumsi, jagung hasil rekayasa genetik (PRG) juga dinyatakan halal. Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Ahmad Haikal Hassan, menegaskan bahwa jagung PRG tidak mengandung unsur haram.
"Saya jamin dan tidak perlu sertifikat halal karena masuk positive list," ujarnya saat panen jagung PRG di Desa Banyubang, Kecamatan Solokuro, Lamongan, Jawa Timur, dikutip dari Antara.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa kehadiran jagung PRG juga berperan penting dalam mendukung ketahanan pangan nasional. Dengan bantuan teknologi, produktivitas jagung di wilayah tersebut meningkat hingga 20 persen, serta mampu menekan biaya operasional petani.
"Ini dapat mendukung efisiensi biaya produksi para petani dan berdampak signifikan terhadap perekonomian nasional. Target pertumbuhan ekonomi pun bisa terdorong hingga delapan persen," katanya.
Petani menyortir hasil panen jagung. Foto: ANTARA FOTO/Arnas Padda
Kepala Desa Banyubang, Muhammad Rokib, turut memaparkan bahwa lahan tanam jagung PRG yang dipanen di wilayahnya saat ini mencapai 10 hektare dari potensi total 200 hektare. Menurutnya, hasil dari benih PRG jauh lebih tinggi dibanding benih konvensional.
Untuk produksi menggunakan benih konvensional membutuhkan 14 kilogram benih per hektare. Sementara untuk jagung PRG cukup 15 kilogram dengan peningkatan hasil panen 15-20 persen.
Selain itu, Rokib menambahkan, dari hasil panen para petani jagung di wilayahnya, rata-rata bisa meraup keuntungan Rp 20-25 juta per hektare. "Harga jagung saat ini relatif stabil di kisaran Rp 4.750 per kilogram," tambahnya.