Suasana kegiatan belajar di sebuah sekolah dasar di Daejeon, Korea Selatan. Foto: Reuters
Anak-anak sekolah dasar (SD) di ibu kota Korea Selatan, Seoul, yang mengalami masalah kesehatan mental semakin bertambah dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa gejala yang dialami seperti depresi hingga kecemasan, menurut penelitian terbaru.
Korea Herald melansir, Kantor Pendidikan Kota Seoul melakukan studi selama tiga tahun terakhir yang mencakup 113 SD di Seoul dan melakukan survei terhadap 3.754 siswa.
Studi ini dilakukan dalam format wawancara kelompok, yang merupakan metode penelitian kualitatif di mana para peserta terlibat dalam diskusi terarah tentang topik tertentu. Dalam studi ini, kelompok peneliti juga berkonsultasi dengan para ahli kesehatan mental terkait tanda-tanda masalah kesehatan mental.
Menurut penelitian Kantor Pendidikan Seoul, siswa SD yang menunjukkan tanda-tanda depresi pada skala 3 poin meningkat setiap tahun, dari 0,51 poin pada tahun 2021 menjadi 0,66 pada tahun 2022, dan 0,73 pada tahun 2023.
Siswa yang menunjukkan tanda-tanda kecemasan juga menunjukkan peningkatan yang stabil selama tiga tahun. Pada skala 1 poin, skor meningkat dari 0,44 pada tahun 2021 menjadi 0,54 pada tahun 2022 dan 0,58 pada tahun 2023.
Pada periode yang sama, siswa SD yang menunjukkan kepekaan emosional meningkat dari 0,41 poin pada tahun 2021 menjadi 0,49 poin pada tahun 2023.
Sedangkan untuk siswa yang menunjukkan pesimisme, penelitian tersebut juga melihat adanya peningkatan dari 0,17 pada tahun 2021 menjadi 0,26 pada tahun 2023.
Apa Penyebab Meningkatnya Gejala Masalah Kesehatan Mental pada Anak SD di Seoul?
Seorang ibu mencium anaknya di sebuah sekolah dasar di Seoul, Korea Selatan, Rabu (27/5). Foto: REUTERS
Nah Moms, studi tersebut mengungkap beberapa faktor di balik penurunan konsisten dalam kondisi kesehatan mental di kalangan siswa SD, yaitu:
Stres akibat tekanan akademis dan hubungan antarteman
Meningkatnya waktu yang dihabiskan dengan gadget
Meningkatnya paparan media sosial
Berkurangnya waktu tidur
"Saat ini, semakin banyak pelajar di bawah umur yang menggunakan platform media sosial seperti Instagram dan YouTube, tempat mereka secara tidak langsung dapat merasakan seperti apa kehidupan orang lain," catat laporan tersebut.
"Fenomena ini dapat menyebabkan pelajar membandingkan diri mereka dengan kehidupan glamor orang lain, yang berujung pada perasaan kekurangan yang relatif," imbuhnya.
Selain faktor-faktor ini, penelitian menunjukkan bahwa sikap pengasuhan orang tua yang terlalu protektif di Korea Selatan mungkin juga berkontribusi terhadap meningkatnya emosi negatif.
Misalnya, ketika anak-anak yang terlalu dilindungi secara emosional saat menghadapi masalah-masalah kecil, hasilnya mereka cenderung memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi dan mudah putus asa saat menghadapi kesulitan-kesulitan lainnya.
"Karena tren pola asuh yang sensitif dan pendekatan yang salah dengan terlalu mengakomodasi emosi anak-anak, kekebalan emosional siswa SD berada pada tingkat yang rendah. Sehingga mereka lebih rentan terhadap depresi dan kecemasan," tutup laporan tersebut.