Seorang guru honorer bernama Hedi Ludiman (kanan) dan istrinya, Evi Fatimah, di Sleman jadi korban mafia tanah. Berjuang 12 tahun tapi sertifikat tak kunjung kembali, Senin (12/5/2025). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Guru honorer bernama Hedi Ludiman (49 tahun) dan istrinya, Evi Fatimah (38), korban mafia tanah di Kabupaten Sleman, menanggapi pernyataan BPN Sleman atau Kantor Pertanahan Sleman yang mengatakan blokir sertifikat hanya berlaku 30 hari. Setelah itu, blokir selesai dan bisa diperpanjang sekali.
"30 hari itu bagi blokir warga biasa. Tetapi bila yang blokir itu aparat hukum, bisa kejaksaan, bisa pengadilan, bisa kepolisian, bisa kementerian, sesuai undang-undang tidak seperti itu," kata Hedi, Kamis (15/5).
Menurut Hedi, tata cara blokir sertifikat menurut Pasal 14 Peraturan Menteri ATR/BPN RI Nomor 13 Tahun 2017, blokir yang dilakukan penegak hukum tetap berlaku sampai dengan kasus pidana dihentikan.
"Saya bacakan, ini hanya membaca dari undang-undang, 'Catatan blokir oleh penegak hukum berlaku sampai dengan dihentikannya kasus pidana yang sedang dalam penyidikan dan penuntutan, atau sampai dengan dihapusnya pemblokiran oleh penyidik yang bersangkutan'," kata Hedi.
Dia melanjutkan, di ayat 2 dijelaskan Kepala Kantor Pertanahan dapat meminta keterangan kepada penyidik terkait kasus atas tanah yang dicatat blokir.
"Seperti itu. Itu pasalnya seperti itu. Jadi intinya Polres Sleman 2012 memblokir (sertifikat) dan setelah itu memberi surat ke BPN masih ada proses pidana oleh penyidik dikasihkan surat ke BPN. Berarti kan jelas. Dan sudah ada yang terpidana dan jelas notaris juga kena kode etik," katanya.
Hedi Ludiman dan istrinya, Evi Fatimah, Senin (12/5/2025). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Penyidikan di polisi juga belum usai sampai saat ini karena masih ada satu pelaku yang DPO. Blokir itu belum dicabut, menurut Hedi.
Hedi pun sempat menunjukkan surat dari Polresta Sleman bahwa belum ada pencabutan blokir atas sertifikat tersebut.
"Dari surat Polresta Sleman dari 2023 sampai 2024 Polres Sleman belum pernah mencabut blokir di BPN saya punya bukti dari Reskrim Polres Sleman belum ada yang mencabut," ujarnya.
"Mana yang salah, mana yang benar itu saya tidak akan menilai. Yang menilai pakar hukum dan ahli hukum," bebernya.
Dia menegaskan sesuai aturan yang ada ketika yang memblokir sertifikat penegak hukum maka yang bisa membuka adalah penegak hukum.
"Tidak boleh dibuka sendiri (oleh BPN)," ujar Hedi.
BPN Sleman Beberkan Alasan Blokir Dibuka
Kepala BPN atau Kantor Pertanahan Sleman Imam Nawawi, Rabu (14/5/2025). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Sebelumnya, Kepala BPN atau Kantor Pertanahan Sleman Imam Nawawi mengatakan berdasarkan hasil penelusurannya, proses balik nama sertifikat hingga lelang oleh bank telah sesuai prosedur.
"Ya (sesuai SOP). Sepertinya teman-teman kita, kemungkinan ya, dugaan saya enggak ada yang terlibat. Karena BPN sepanjang syarat administrasi, syarat formil, terpenuhi untuk peralihan hak, BPN enggak punya hak menguji ini bener atau enggak, ini dipalsukan atau enggak, karena bukan kewenangan BPN," kata Imam ditemui di kantornya, Rabu (14/5).
Imam membenarkan ada lelang dari Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) atas sebuah Bank BPR pada tahun 2024.
Lelang terjadi karena masa blokir sertifikat telah selesai. Berdasarkan aturan, blokir berlangsung 30 hari dan bisa diperpanjang sekali. Blokir dapat berakhir meski tidak dicabut oleh kepolisian.
"Yang tadi ditanyakan ya, blokir kok bisa terbit ini, karena berdasarkan ketentuan, blokir kan hanya berlaku 30 hari, itu karena memang ketentuan," jelasnya.
"Kemudian dilelang, saat lelang pun itu karena tadi sudah tidak ada tercatat blokir, SKPT itu sudah terbit," katanya.
Imam membenarkan sertifikat awal mulanya atas nama Evi dari hasil waris. Kemudian terjadi balik nama yang kemudian diketahui ada kasus penipuan dari calon pengontrak rumah Evi.
"Mungkin bisa jadi sekali lagi itu diduga karena penipuan dari pihak yang rencana tadinya mau mengontrak," katanya.
Di waktu 2012 itu, catatan dari BPN, administrasi terpenuhi, sehingga balik nama bisa dilakukan.
"Catatan di BPN, kami sebagai lembaga pencatat administrasi, ini sepanjang administrasi terpenuhi, syarat formilnya terpenuhi, kita proses. Kalau ada peralihan jual-beli, misalnya peralihan jual-beli, berdasarkan akta jual beli," katanya.
Kasus Hedi dan Evi
Saat Hedi Ludiman dan istrinya mengadu ke Bupati Sleman Harda Kiswaya, Rabu (14/5). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Hedi dan Evi adalah korban mafia tanah. Pada 2012 sertifikat tanah atas nama Evi seluas 1.475 meter persegi beserta bangunan rumah di Pedukuhan Paten, Kalurahan Tridadi, Kapanewon Sleman, Kabupaten Sleman, berpindah ke orang lain berinisial SJ.
Pada 2011, SJ datang bersama SH ibunya mengaku akan mengontrak rumah Evi untuk usaha konveksi. Mereka akan mengontrak selama 5 tahun dengan nilai Rp 25 juta.
Lantaran masih akan ditempati pada 2012, mereka meminta jaminan sertifikat dari Evi. Kemudian Evi diajak ke notaris untuk tanda tangan perjanjian mengontrak.
Namun yang terjadi setelahnya adalah sertifikat tersebut dibalik-namakan ke SJ. Sertifikat juga diagunkan ke bank oleh SJ.
Dalam kasus ini SH telah divonis 9 bulan pidana, sementara SJ masih DPO sampai saat ini.
Hedi dan Evi juga menggugat secara perdata tetapi saat 2015 itu putusan pengadilan adalah Niet Ontvankelijk Verklaard (NO) atau putusan tidak dapat diterima karena gugatan mengandung cacat formil.
Yang terjadi setelahnya bank tetap melelang tanah beserta rumah Hedi dan Evi ke orang lain meski sudah ada terpidana serta satu orang masih DPO dalam kasus ini.