Panggil namanya Mira. Usianya 29 tahun. Ia hidup di kota yang nyaris tak pernah tidur. Sehari-hari Mira bekerja sebagai manajer pemasaran di sebuah startup teknologi yang baru saja mendapat suntikan dana investor. Hidupnya seperti garis grafik. Naik, naik, dan naik. Namun, entah kenapa, hatinya justru merosot dalam kehampaan. Menurun dalam kesepian yang tak bisa ia jelaskan.
Setiap malam, Mira menatap layar ponselnya sambil membuka aplikasi mobile bankingnya. Saldo Rp 7.732.000. Bulan lalu saldonya Rp 15.500.000. Ia mengecek dan menggulir riwayat transaksinya. Catatannya berisi; ngopi di cafe, langganan streaming, skincare viral, taksi online, makan malam impulsif. Semua tampak wajar. Bahkan terkesan lumrah dan tak bermasalah.
Namun, tiap angka keluar yang ia belanjakan, seperti daun jatuh dari pohon. Ringan, seperti dahan lepas dari pohonnya
Hingga suatu malam, Mira merasa sesak di dadanya. Jantungnya berdetak tak karuan. Bukan karena tagihannya begitu menumpuk. Ia merasa dirinya tidak pernah hadir seutuhnya dalam beragam aktivitas hidupnya. Ia sadar, ia tak pernah benar-benar hadir saat menggesek kartu kreditnya. Dirinya tidak hadir, saat memesan latte di kafe. Tidak juga saat check out setelah belanja barang di keranjang e-commerce. Mira seperti sedang tidur sambil berbelanja. Saat uangnya keluar dari dompetnya, pikirannya berkelana entah kemana. Kesadarannya tertinggal jauh di belakang.
Lalu ia menemukan sesuatu. Bukan aplikasi keuangan baru, tapi seseorang. Namanya Dicky. Teman kecilnya sewaktu SMA yang kini jadi coach mindfulness. Bio Instagramnya berbunyi: "Membantu kamu berdamai dengan dompetmu dan dirimu sendiri." Awalnya Mira tertawa. Tapi malam itu, ia mengetik di gawainya: "Boleh ngobrol?"
Mereka bertemu di taman kota. Tak ada kopi. Tak ada wifi. Hanya bangku, udara, dan percakapan.
"Kamu tahu nggak," kata Dicky. "Mindfulness itu kayak nyetir dalam kabut. Kamu harus pelan. Harus sadar penuh. Harus tahu kenapa kamu ke arah itu."
Mira hanya mengangguk, lantaran kata-kata Dicky terasa seperti jendela yang perlahan ia buka. Ia mulai menceritakan bahwa setiap kali gajian tiba, itu menjadi momen euforia sekaligus kecemasan. Ia selalu merasa bersalah setelah belanja. Pun merasa hampa saat mencoba menahan diri untuk berbelanja.
Dicky tertawa kecil. Lalu berkata, "Kamu atur uangmu, dari rasa takut semata. Bukan dari rasa sadar."
Mira seketika tersadar. Mulai malam itu, ia mencoba sesuatu yang baru. Ia menyebutnya "ritual kesadaran." Setiap kali hendak membeli sesuatu, ia berhenti sejenak. Menutup mata. Bertanya: "Apa aku benar-benar butuh ini, atau aku sedang mengisi ruang kosong dalam diriku?"
Ia mulai mencatat pengeluaran, bukan dengan nada kontrol. Melainkan dengan rasa ingin tahu. Seperti sedang memetakan siapa dirinya dalam bentuk angka. Ia mulai mengenali pola belanjanya. Bahwa tiap kali nafsu membelinya yang impulsif muncul, saat itu ia merasa tak cukup. Tak cukup cantik. Tak cukup sukses. Tak cukup dicintai.
Dalam heningnya itulah, ia mulai menyadari, uang bukan tentang barang. Uang itu tentang hubungan. Hubungan kita dengan rasa aman, dengan rasa layak. Dengan masa lalu yang belum selesai. Dengan masa depan yang belum kita percaya.
Meski begitu, Mira tak lantas jadi orang hemat yang kaku. Ia tetap belanja. Tetap makan enak. Namun ada yang berbeda, setiap transaksi yang ia lakukan adalah keputusan sadar. Dan dalam kesadaran itu, ia merasa utuh. Ia tahu kapan harus bilang "ya," dan kapan harus berkata "cukup."
Meski saldo tabungannya masih naik-turun. Tapi kini, hatinya stabil. Ia tak lagi mengejar "lebih," tapi merawat "cukup." Ia belajar bahwa financial mindfulness bukan sekadar soal menabung, tapi tentang menghadirkan diri di setiap angka yang keluar, agar uang bukan hanya alat bertahan hidup, melainkan cermin pertumbuhan batin.
Dan...
Di akhir setiap bulan, saat menutup buku catatan keuangannya. Mira selalu menulis satu kalimat kecil: "Aku sadar. Aku hadir. Itu saja. Dan itu, sudah sangat berharga." Weleh, weleh, weleh.