ilustrasi ibu dan anak perempuannya (https://www.pexels.com/photo/joyful-adult-daughter-greeting-happy-surprised-senior-mother-in-garden-3768131-Andrea Piacquadio)
Ibu tak pernah mengeluh. Saat Bapak pergi untuk selamanya, tubuhnya justru sedang mengandung kehidupan baru. Tak ada tuntutan, tak ada ratapan—padahal Ia tahu, seorang wanita hamil berhak meminta lebih.
Ketika adikku lahir, tak ada genggaman suami yang menenangkan. Hanya ada aku, anak kecil yang bingung dan tak mengerti apa-apa. Dengan pelukan hangat dan senyum setengah basah, Ibu berbisik serak, "Selamat, Nak. Kini kamu punya adik untuk kamu lindungi."
Air mata yang jatuh tak sepenuhnya bahagia—di baliknya, ada rindu yang tersimpan untuk sang pendamping yang telah tiada.
Keluarga besar kami kerap berseteru, melontarkan kata-kata yang lebih tajam dari pisau. Tapi Ibu selalu berkata, "Darah tetap lebih kental dari air. Bagaimanapun mereka bersikap, mereka tetap keluarga kita." Aku tahu, di balik itu, hatinya terluka. Tapi Ia memilih membungkus luka dengan maaf, bukan balas dendam.
Menjadi single parent itu tidak mudah. Ibu harus memikul segalanya—dari mencari nafkah hingga menjadi pelindung. Setiap pagi, sebelum fajar, kudengar Ia berdoa pelan "Ya Allah, cukupkanlah untuk anak-anakku." Hanya itu—doa pendek yang mengangkut seluruh beban hidupnya.
Hari-hari berlalu dengan Ibu yang tak kenal lelah. Dari fajar hingga senja, bekerja keras untuk dua anak perempuannya. Aku yang merantau, hanya bisa memandang bulan yang sama—mungkin Ibu juga menatapnya sambil berbisik harap.
Aku selalu mengira Ibu adalah perempuan terkuat. Hingga suatu sore, telepon dari salah satu teman Ibu yang masuk ke HP-ku membuat dunia terhenti sejenak.
"Uang jualan Ibu hilang... HP juga... " Suaranya pecah, seperti kaca yang akhirnya retak setelah menahan beban bertahun-tahun. Baru kali ini aku mendengar Ibu menangis begitu—seperti anak kecil yang kehilangan pegangan terakhir.
Aku nekat melacak pencurinya. Tapi yang kudapat hanya caci maki tak senonoh. Saat kuberitahu Ibu, Ia hanya menarik napas dalam.
"Sudah, Nak. Mungkin rezeki kita hari ini hanya sampai di situ. Besok, kita mulai lagi dari awal."
Aku terdiam. Di saat amarahku masih membara, Ibu sudah sampai di titik ikhlas. Seperti sungai yang tetap mengalir, meski ada bebatuan menghadang.
Kini aku mengerti: ikhlas itu bukan tentang melupakan sakit, tapi tentang memilih untuk terus berjalan. Bukan tentang tidak merasakan pedih, tapi tentang tetap bisa tersenyum di keesokan hari.
Dan warisan terbesar Ibu bukanlah harta, tetapi ruang ikhlas di hati ini—yang meski kubuka lebar-lebar, tetap takkan pernah seluas samudra ketulusannya.
Ibu, maafkan anakmu yang harus meremas dada berkali-kali sebelum bisa memaafkan. Yang masih perlu menangis berjam-jam sebelum bisa tersenyum lagi. Tapi aku berjanji, suatu hari, hatiku akan seluas hatimu—lautan tanpa daratan, yang tak pernah memilih kecuali mengikhlaskan.