Wakil Ketua Bidang Pengembangan Ekonomi Syariah KADIN Indonesia Angga A. Adinegoro menjadi pembicara kumparan Halal Forum 2025 di Ballroom Artotel Mangkuluhur, Jakarta, Selasa (27/5/2025). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Dalam acara kumparan Halal Forum 2025 yang terselenggara beberapa waktu lalu (27/5), terungkap data dari Kadin yang menyatakan bahwa baru sekitar 3 persen pelaku usaha di Indonesia yang bersertifikat halal. Kenapa bisa begitu?
Angga A Adinegoro Wakil Kepala Badan Pengembangan Ekonomi Syariah Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia yang turut hadir sebagai narasumber dalam panel Halal Forum 2025 berjudul "Halal Certification: Standards, Challenges, and Opportunities", membongkar sejumlah tantangan proses sertifikasi halal yang dia temui di lapangan, yang ternyata bukan hanya soal biaya saja.
"Kebetulan saya juga auditor halal. Jadi memang ada beberapa, ya masukkan daripada pelaku usaha yang pertama sisi biaya. Jadi khususnya untuk UMKM yang tidak masuk self-declare, tetapi omzetnya masih belum memadai, menurut mereka itu biayanya terlalu besar," ujarnya.
Selain biaya, Angga juga mengatakan tantangan selanjutnya adalah, masih banyaknya pelaku UMKM yang tak paham soal literasi dan edukasi sistem jaminan produk halal.
Ilustrasi pemilik UMKM. Foto: Shutterstock
"Misalnya dia UMKM yang jualannya di warung kecil. Mungkin rumahnya kecil, jadi ada tempat pencucian, tempat masak itu jadi satu. Nah, itu kan harus dipisah. Menurut mereka itu berlebihan karena mereka kurang paham," tambah Angga.
Rupanya, tantangan kedua mengenai literasi pentingnya sertifikasi halal juga diungkapkan Plh Sekretaris Utama sekaligus Deputi Bidang Pembinaan dan Pengawasan JPH E.A Chuzaemi Abidin yang juga hadir di Halal Forum 2025 mewakili Kepala BPJPH Ahmad Haikal Hassan.
Menurut Chuzaemi, baru 40 persen pemahaman masyarakat Indonesia mengenai literasi halal ini. Kebanyakan pelaku usaha yang belum mendaftarkan diri menganggap usahanya tetap laku meski tak bersertifikat halal.
"Untuk survei literasi halal selama ini kan BI yang mengadakan tiap tahun, survei mengenai literasi halal tapi digabung dengan ekonomi syariah. Kita masih 40 persen sekian literasi halal di Indonesia, penting sekali mengedukasi khususnya UMKM di Indonesia," tegasnya.
Selanjutnya, untuk tantangan ketiga menurut Angga banyak dirasakan oleh pelaku bisnis kuliner. Tantangan tersebut adalah soal bahan substitusi.
Ilustrasi bisnis kuliner. Foto: Shutterstock
Pelaku UMKM kuliner kebanyakan kesulitan dalam memperoleh bahan substitusi yang halal. Dia mencontohkan bahan substitusi yang sulit didapatkan misalnya gelatin. Tak banyak pilihan produk gelatin yang sudah bersertifikasi halal.
"Nah, yang ketiga juga bahan-bahan material itu contoh yang perasa, gelatin. Bahan-bahan seperti oleoresin, pemanis, perasa, itu memang banyak yang induksi hulunya belum bersertifikasi halal," tuturnya.
Selain biaya, edukasi, hingga bahan-bahan substitusi, rupanya pelaku UMKM terutama di daerah 3T, menurutnya, mengalami kesulitan dalam menjangkau LPH yang kebanyakan jauh dari jangkauan.
"Dan salah satunya juga ada, yang keempat, mengenai daerah-daerah yang 3T itu memang akses untuk mendapatkan LPH itu jauh. Jadi akan meningkatkan biaya dan juga dari sisi proses untuk diaudit itu menjadi lama," pungkasnya.
Meski hingga kini proses sertifikasi halal masih dirasa sulit, pemerintah tetap mendorong agar UMKM segera mendaftarkan usahanya sebelum batas akhir yakni 17 Oktober 2026.