Setelah cukup banyak berkelana ke berbagai kota dan negara di Eropa dan di tengah kesibukan menulis disertasi sebagai mahasiswa PhD, saya mencari jeda rohani—sebuah ruang sunyi untuk menyegarkan jiwa. Sebelumnya tak pernah terlintas karena di tanah air pun kami belum pernah daftar haji atau umrah, ternyata Allah memberikan kejutan jauh lebih besar, haji.
Awalnya, saya dan istri mencari peluang umrah ke tanah suci dengan mendatangi agen perjalanan haji dan umrah komunitas Arab-Maroko, Celebrity dan komunitas Turki, Milli Gorus. Dari sisi Bahasa, sebenarnya lebih cocok dengan Celebrity yang berbahasa Arab namun dari sisi tata kelola, Milli Gorus lebih bonafid. Jadilah kami berfokus di Milli Gorus yang merupakan komunitas dan organisasi Islam asal Turki yang aktif di banyak negara Eropa, termasuk Belanda.
Di kantor Milli Gorus di daerah Amsterdam Zuid inilah kami daftar umrah namun justru diberi tawaran yang mengubah segalanya. "Anda belum berhaji yang wajib, kami masih punya slot untuk jamaah haji, mau ikut?" tawarnya. Kami berdua antara kaget, bingung sekaligus gembira karena ini bukan sekadar undangan perjalanan, ini panggilan langit.
Sekalipun bahagia, kami merasa bingung karena saya adalah mahasiswa PhD. Belum ada pengalaman orang lain yang berangkat haji saat kuliah PhD. Ada banyak pertanyaan dalam batin kami sekaligus keraguan: apakah izinnya akan keluar? Apakah logistiknya memungkinkan? Bagaimana anak-anak? Akhirnya, saya putuskan berangkat diam-diam. Bukan karena malu, tapi karena khawatir rencana ini ternyata batal dan terlanjur diketahui teman-teman. Anak-anak saya titipkan ke tetangga dekat, diaspora yang sempat punya suami orang Belanda sehingga cukup fasih Bahasa Belanda.
Di Belanda, persyaratan kesehatan untuk yang mau berangkat dalam kegiatan lintas negara sangat ketat. Pemeriksaan lengkap mencakup vaksin meningitis dan polio—semuanya harus terpenuhi dalam waktu singkat. Tak ada manasik, tak ada bimbingan manasik haji. Saya hanya punya satu pegangan: buku kecil karya KH Miftah Farid tentang kaifiyat haji. Di sela membaca jurnal ilmiah dan menyusun metodologi riset, kami mempelajari tawaf, wukuf, dan lontar jumrah serta menghapalkan kembali bacaan dan doa dalam setiap tahapan haji.
Berangkatlah saya bersama rombongan Millî Görüş yang didominasi orang Turki yang mukim di Belanda dan beragam suku bangsa yang telah lama tinggal dan bahkan menjadi warga negara. Ada orang Indonesia berkewarganegaraan Belanda, Iraq, Mesir, Afrika bahkan bangsa Kurdi. Dalam interaksi selama perjalanan haji, Bahasa menjadi tantangan karena umumnya berbahasa Belanda dan Turki. Namun kendala tersebut dapat teratasi dengan semangat persaudaraan sehingga mampu menghapus sekat itu semua.
Kami bertolak dari Eropa menuju tanah suci, meninggalkan musim panas Eropa untuk bertemu panasnya Padang Arafah—tapi juga kehangatan spiritual yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Ibadah haji tidak hanya penyempurna rukun Islam, tetapi juga menjadi momen perenungan mendalam tentang makna perjuangan, keikhlasan, dan kesederhanaan. Di tengah ribuan manusia dari berbagai bangsa, saya merasa kecil sekaligus utuh. Haji dadakan ini menjadi salah satu momen paling penting dalam hidup saya—diperoleh secara ajaib, di waktu yang tak terduga, oleh Kehendak yang Maha Kuasa. Kadang, panggilan suci datang bukan ketika kita sudah siap, tapi ketika kita sedang benar-benar butuh.
Ketika awal saya mendaftar program doktoral di Belanda, saya tak pernah membayangkan bahwa di sela-sela riset, seminar, dan tumpukan literatur ilmiah, saya dan istri dapat menunaikan ibadah yang selama ini hanya kami bisikkan dalam doa. Niat awalnya hanyalah umrah sebagai ikhtiar sederhana mencari jeda spiritual dari rutinitas akademik yang padat. Kami ingin mencari makna, bukan kemewahan; ketenangan, bukan sekadar perjalanan.
Saat itu, tak banyak yang tahu rencana ini, bahkan keluarga di Tanah Air pun saya kabari seadanya. Saya khawatir jika terlalu banyak orang tahu, malah menjadi beban pikiran. Kadang, perjalanan spiritual memang lebih khusyuk saat dilalui dalam sunyi. Saya tidak punya ustaz pembimbing di sini karena saya malah sering diminta menjadi khatib dan imam sehingga saya percaya, Allah tak pernah membiarkan seorang hamba yang benar-benar ingin dekat dengan-Nya berjalan sendirian.
Saat dalam pesawat, saya sempat tertegun. Saya membayangkan diri saya yang sedang menyelesaikan bab metodologi penelitian—tiba-tiba kini sedang dalam perjalanan menuju Makkah. Langit-langit kabin yang hening terasa seperti saksi bisu perubahan besar dalam hidup saya.
Di Tanah Suci, saya menyaksikan kerendahan hati yang tak bisa diajarkan dalam dunia akademik, pangkat sosial, atau status ekonomi. Semua manusia mengenakan pakaian yang sama, berdiri di tempat yang sama, dan bersimpuh di hadapan Tuhan yang sama. Wukuf di Arafah menjadi puncak perenungan saya. Di bawah terik matahari yang menyengat, saya menangis. Bukan karena kelelahan, tapi karena merasa "ditemukan" oleh Allah, di tengah fase hidup yang paling sibuk dan paling sepi sekaligus. Haji ini mengajari saya untuk lebih percaya pada keajaiban yang datang dari niat yang tulus. Bahwa Allah tak menunggu kesiapan materi, tetapi kesiapan hati.