Jakarta Feminist: Relasi Kuasa Masih Jadi Penyebab Utama Kekerasan Seksual - my blog

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Jakarta Feminist: Relasi Kuasa Masih Jadi Penyebab Utama Kekerasan Seksual
May 25th 2025, 16:02 by kumparanWOMAN

Sejumlah anggota Forum Perempuan Diaspora nusa Tenggara Timur (FPD NTT) membawa atribut aksi untuk menolak kekerasan seksual saat car free day (CFD) di Kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (23/3/2025). Foto: Sulthony Hasanuddin/ANTARA FOTO
Sejumlah anggota Forum Perempuan Diaspora nusa Tenggara Timur (FPD NTT) membawa atribut aksi untuk menolak kekerasan seksual saat car free day (CFD) di Kawasan Bundaran HI, Jakarta, Minggu (23/3/2025). Foto: Sulthony Hasanuddin/ANTARA FOTO

Memasuki bulan kelima tahun 2025, lonjakan laporan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan kembali menyita perhatian publik. Ironisnya, banyak kasus tersebut melibatkan pelaku yang memiliki posisi penting dalam struktur masyarakat, seperti tenaga kesehatan, dosen atau tenaga pendidik, hingga anggota kepolisian.

Perkumpulan Lintas Feminis, Jakarta Feminist mengungkapkan bahwa fakta ini memperlihatkan pola yang kerap muncul dalam kekerasan seksual terhadap perempuan yaitu relasi kuasa. Ketimpangan kekuasaan antara pelaku dan korban menciptakan ruang yang memungkinkan terjadinya kekerasan seksual, sekaligus menyulitkan korban untuk mendapatkan keadilan.

Priguna Anugerah Pratama dokter PPDS di RSHS Bandung tersangka pemerkosaan anak perempuan pasien, dihadirkan saat konferensi pers di Polda Jawa Barat, Rabu (9/4/2025). Foto: Robby Bouceu/kumparan
Priguna Anugerah Pratama dokter PPDS di RSHS Bandung tersangka pemerkosaan anak perempuan pasien, dihadirkan saat konferensi pers di Polda Jawa Barat, Rabu (9/4/2025). Foto: Robby Bouceu/kumparan

Dalam kasus-kasus yang mencuat baru-baru ini, kita bisa melihat relasi kuasa dengan jelas—anggota kepolisian sebagai pelaku terhadap tahanan perempuan, dokter residen terhadap pasien, serta dosen terhadap mahasiswa atau staf akademik.

Perbedaan status sosial, budaya, tingkat pendidikan, kondisi ekonomi, dan posisi institusional antara pelaku dan korban menjadi hambatan besar dalam proses hukum. Korban harus menghadapi bukan hanya trauma kekerasan, tetapi juga sistem yang kerap berpihak pada pelaku.

Ilustrasi pelecehan seksual di kantor. Foto: Shutter Stock
Ilustrasi pelecehan seksual di kantor. Foto: Shutter Stock

"Pada survei yang sama, kami menemukan 134 kasus kekerasan seksual dilakukan oleh guru atau dosen dan 44 kasus oleh tenaga kesehatan. Perbedaan status sosial, budaya, pengetahuan/pendidikan, ekonomi, dan status lain antara pelaku dan korban membuat proses hukum yang adil bagi korban menjadi semakin terjal," ungkap Anindya Restuviani, Direktur Program Jakarta Feminist dalam konferensi pers, Jumat (16/5).

Tak hanya relasi kuasa, menurut Anindya, tantangan lain yang menghambat perlindungan terhadap korban adalah implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang belum ideal. Jakarta Feminist dan LBH APIK Jakarta mencatat berbagai hambatan yang dihadapi korban dalam mengakses hak-haknya sesuai UU tersebut.

Salah satu persoalan utama terletak pada aturan turunan UU TPKS yang belum sepenuhnya berpihak pada korban. "Meski ada kemajuan dari sisi payung hukum, namun aturan turunan UU TPKS masih belum benar-benar dapat mendukung pemulihan korban," ujar Anindya.

Sebagai contoh, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan dinilai justru menyulitkan korban untuk mendapatkan layanan kesehatan seksual dan reproduksi yang mereka butuhkan.

Suasana acara gerak jalan dan kampanye UU TPKS di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (25/9/2022). Foto: Luthfi Humam/kumparan
Suasana acara gerak jalan dan kampanye UU TPKS di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (25/9/2022). Foto: Luthfi Humam/kumparan

Masalah berikutnya adalah rendahnya sensitivitas gender dari aparat penegak hukum, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam penanganan kasus. Uli Pangaribuan, Direktur LBH APIK Jakarta, menyebutkan bahwa aparat masih sering melontarkan pertanyaan atau pernyataan yang tidak berempati terhadap korban.

"Kasus di Pacitan memperlihatkan bagaimana kepolisian justru menjadi pelaku kekerasan seksual," ujar Uli. Hal ini menambah trauma korban dan memperburuk ketidakpercayaan terhadap sistem hukum.

Lebih jauh, Jakarta Feminist menggarisbawahi pentingnya tindakan berpihak pada korban sebagai langkah preventif terhadap femisida, yaitu pembunuhan terhadap perempuan yang didasari oleh kebencian terhadap gender mereka. Femisida merupakan bentuk kekerasan paling ekstrem yang seringkali diawali oleh pelecehan, kekerasan, dan ketidakseriusan masyarakat dalam merespon kekerasan berbasis gender.

"Jakarta Feminist di 2023 menemukan terdapat 180 kasus femisida dengan 187 korban. Artinya, setiap 2 hari ada perempuan yang dibunuh. Di mana, 94 persen pelakunya adalah laki-laki. Kami juga menemukan beberapa kasus di mana pelaku melakukan kekerasan seksual sebelum ataupun sesudah membunuh korban," jelas Anindya.

Ia menegaskan bahwa femisida bukan terjadi secara tiba-tiba, tetapi merupakan akumulasi dari pembiaran terhadap kekerasan yang terjadi setiap hari—mulai dari guyonan seksis hingga diskriminasi yang tak ditindaklanjuti secara serius.

Ilustrasi kekerasan seksual. Foto: Rodhi Zulfa/kumparan
Ilustrasi kekerasan seksual. Foto: Rodhi Zulfa/kumparan

Kendati tantangannya besar, Jakarta Feminist dan LBH APIK Jakarta tetap menyuarakan optimisme. Menurut mereka, penanganan kasus kekerasan seksual tidak bisa berjalan sendiri. Diperlukan sinergi berbagai pihak: dari pendamping korban, penyedia layanan, aparat hukum, masyarakat umum, hingga pekerja media.

"Prioritas utama kita adalah bagaimana semuanya saling bahu-membahu untuk #LindungiKorban. Di tengah kondisinya yang berat, kita ingin korban tidak semakin sulit menjalani hari-harinya. Empati dan keberpihakan jadi hal yang dibutuhkan selama proses penanganan kasus kekerasan seksual," tandas Anindya

Catatan Redaksi: Jika Anda mengalami kekerasan berbasis gender dan seksual atau mengetahui seseorang yang mengalaminya, Anda dapat mencari informasi bantuan bagi korban melalui carilayanan.com

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.
Next Post Previous Post