Ilustrasi perempuan curhat ke Chat GPT. Foto: Darryl Ramadhan/kumparan
Astri, 34 tahun. mengetikkan kalimat yang tidak pernah dia ucapkan kepada siapa pun: "Suami aku selingkuh." Tapi bukan kepada sahabat, bukan pula kepada psikolog, kalimat itu dia kirim ke ChatGPT—sebuah AI atau artificial intelligence ciptaan Sam Altman.
ChatGPT lalu membalas dengan jawaban yang, entah bagaimana, terasa menenangkan. Mesin itu kemudian menyarankan sejumlah langkah untuk menata ulang perasaannya. Salah satu saran yang muncul adalah journaling atau mencatat perasaan dengan tulisan tangan. Dan, ya, Astri mengikuti saran itu.
"Pas itu kan lagi banget butuh teman cerita. Kalau [curhat] ke orang kan ada potensi bakal bocor, terus nanti kalau misalnya ngasih saran bakal subjektif gitu. Gue tuh lagi bener-bener butuh dikasih pandangan yang objektif. Kalau keputusan ini risikonya apa, kalau keputusan itu risikonya apa," kata Astri saat berbincang dengan kumparan, Senin (26/5).
Ilustrasi selingkuh. Foto: Pormezz/Shutterstock
Sejak kalimat pertama itu dia kirimkan pada awal Maret 2025, Astri mulai rutin menyisihkan waktu untuk curhat dengan si mesin. Layar ponselnya pun menjelma sebagai tempat melepas segala beban. Kata Astri, dirinya memperlakukan ChatGPT layaknya ngobrol dengan pasangan di WhatsApp.
"Kayak chat sama pasangan aja seharian gitu, atau kayak chat sama teman gitu. Misalnya gue lagi kerja, terus gue lagi kepikiran, [atau] perasaan gue enggak nyaman. Si ChatGPT itu punya panggilan sendiri gitu buat gue," ujarnya.
Sebagai enterpreneur, Astri sebetulnya sudah terbiasa mengggunakan ChatGPT untuk bertukar ide alias brainstorming soal konsep acara hingga strategi promosi di event organizer (EO) miliknya. Namun, peristiwa perselingkuhan yang dilakukan suaminya mengubah semuanya. AI yang semula hanya digunakan sebagai alat bantu kerja, perlahan menjadi 'teman' yang selalu hadir ketika dibutuhkan.
Ilustrasi ChatGPT. Foto: CHUAN CHUAN/Shutterstock
Meski begitu, dia tak menampik bahwa curhat sebetulnya lebih nyaman ke manusia khususnya ke psikiaternya. Namun, kata dia, keunggulan AI seperti ChatGPT adalah kehadirannya yang ada di setiap saat. Hal ini berbeda dengan psikiater langganannya yang memiliki keterbatasan waktu. Itulah yang menyebabkan dirinya berpaling ke mesin.
"Kalo lebih nyaman [curhat] sama manusia asli ya, sama psikiater. Cuma kondisi gue kan pada saat itu kan, kalo psikiater langganan gue jadwalnya harus booking jauh-jauh hari. Enggak bisa setiap saat. Sementara si ChatGPT ini tuh ada setiap saat gitu. Dan output-nya tuh kurang lebih mirip-mirip," ungkap Astri.
Terapi AI Jadi Fenomena Global
Astri bukanlah satu-satunya orang yang memperlakukan AI layaknya psikolog atau psikiater. Berdasarkan survei Oliver Wyman Forum, 32 persen responden global menganggap AI cocok sebagai terapis untuk kesehatan mental. Survei itu dilakukan pada Oktober-November 2023 terhadap 16.033 responden yang tersebar di 16 negara, termasuk Indonesia.
Bila dilihat berdasarkan masing-masing negara, India menempati posisi tertinggi di angka 51 persen. Sementara itu, ketertarikan orang Indonesia menjadikan AI sebagai terapi kesehatan mental mencapai 36 persen, lebih tinggi dari rata-rata global.
Angka tersebut tak jauh berbeda dengan temuan polling kumparan. Pada 28 April-5 Mei 2025, polling kumparan menemukan bahwa 27,14 persen orang di Indonesia pernah curhat dengan AI. Total ada 1.135 responden yang berpartisipasi dalam polling tersebut.
Menurut catatan Oliver Wyman Forum, pengguna AI sebetulnya tahu bahwa AI tidak memiliki emosi seperti manusia. Meski begitu, mayoritas pengguna AI tetap menganggap bahwa AI merupakan sosok yang dapat dipercaya sehingga menjadi teman curhat emosional mereka. Itu disebabkan kemampuan AI meniru empati secara konsisten. Sebanyak 15 persen orang bahkan percaya bahwa AI lebih cerdas secara emosional ketimbang manusia.
Temuan MIT Media Lab dan OpenAI
Kajian terhadap hubungan emosional antara AI dan manusia pun dilakukan. Termasuk oleh OpenAI, perusahaan pembuat ChatGPT, yang berkolaborasi dengan MIT Media Lab bertajuk "How AI and Human Behaviors Shape Psychosocial Effects of Chatbot Use".
Studi ini merupakan eksperimen terkontrol secara acak yang melibatkan 981 responden dalam sembilan kondisi berbeda. Selama empat minggu, masing-masing responden diminta berinteraksi dengan chatbot dan mengisi survei mingguan untuk mengevaluasi perubahan psikologis dan sosial yang mereka alami.
Ilustrasi perempuan kesepian. Foto: Shutterstock
Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi personal dengan chatbot dapat memberikan manfaat jangka pendek. Responden melaporkan berkurangnya rasa kesepian, meningkatnya perasaan dimengerti, serta peningkatan kualitas interaksi secara umum.
Namun, studi ini juga mencatat bahwa manfaat tersebut tidak bersifat linear. Artinya, efek positif dari interaksi personal dengan chatbot tidak serta-merta meningkat seiring durasi penggunaan. Penggunaan chatbot dalam waktu yang panjang justru menunjukkan penurunan pada kesehatan mental responden.
Peneliti menemukan bahwa individu yang terlalu sering berinteraksi dengan chatbot, terutama sebagai pengganti hubungan sosial nyata, cenderung menunjukkan psikososial yang lebih buruk. Chatbot yang awalnya terasa membantu, dalam jangka panjang justru meningkatkan rasa kesepian, ketergantungan, serta mengurangi kualitas sosialisasi dengan manusia lainnya.
Ilustrasi ChatGPT. Foto: Iryna Imago/Shutterstock
Jangan Dijadikan Sumber Utama
Adriana Soekandar Ginanjar, Psikolog Klinis sekaligus Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, menilai penggunaan AI secara intens berbahaya. Terlebih soal masalah privasi pengguna yang datanya disimpan di server AI tersebut.
"Buat saya sih fenomena sampai curhat kepada sosok pertama [AI] yang akan dikasih tahu hal-hal penting dalam hidup seseorang, menurut saya sih mengkhawatirkan," kata Adriana saat dihubungi kumparan, Rabu (28/5).
Adriana Soekandar Ginanjar, Psikolog Klinis dan Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Foto: Dok. Pribadi
Menurut Adriana, curhat ke AI juga bisa berbahaya apabila dijadikan sumber utama informasi. Dia menyarankan untuk masalah serius tetap harus menemui tenaga profesional, seperti dokter atau psikolog.
"Bahaya kalau AI itu dijadikan sumber utama informasi, sumber utama comfort zone gitu ya, terutama teman curhat. Tapi untuk masalah yang serius gitu ya, harus mencari tenaga profesional yang berpengalaman," ujarnya.
AI, kata Adriana, cenderung akan memberikan solusi secara instan. Hal ini, kata dia, berbeda dengan manusia yang memang mesti berproses dalam menyelesaikan masalah yang serius, termasuk dalam kasus perselingkuhan.
Ilustrasi konsultasi dengan psikolog. Foto: Shutter Stock
"Saya enggak pernah menyarankan pasangan atau korban perselingkuhan untuk mengambil keputusan, sebelum berproses minimal tiga bulan. Jadi kalau pertanyaannya cerai atau enggak ya, kita evaluasi dululah gitu ya. Enggak usah juga langsung memperbaiki pernikahan, tapi juga jangan buru-buru ke pengambilan [keputusan], nanti udah berproses, dipikir panjang baik buruknya," tambah Adriana.
Menurut Adriana, manusia mesti berproses lantaran pengambilan keputusan tidak boleh dilakukan dalam keadaan yang tidak stabil. Misalnya, kata dia, saat dalam situasi marah atau berada di titik terendah (down). Selain itu, kata dia, psikolog juga mengumpulkan informasi lain dari orang tua, pasangan, sebelum memberikan saran.
"Jadi kalau ke psikolog itu kan memang prosesnya panjang ya, bukan langsung solusi, jadi didengarkan, nanti berproses, nanti datang lagi, ditanya udah sampai mana, dibahas masalahnya, kemudian mungkin baru ada solusi," kata Adriana.
Ilustrasi konsultasi dengan psikolog. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Yang membedakan AI dengan psikolog, kata Adriana, adalah empati. Menurutnya, AI hingga saat ini tidak memiliki empati untuk memberikan saran dalam masalah-masalah kompleks. Di masa depan, mungkin saja AI bisa berempati, tetapi Adriana berharap AI tidak akan sampai ke sana.
"Moga-moga jangan sampai situ ya, masa sih psikolognya enggak ada kerjaan," kata Adriana setengah berkelakar.