Tren Lari Jadi Ladang Cuan, Fotografer Bisa Raup Puluhan Juta per Bulan - my blog

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Tren Lari Jadi Ladang Cuan, Fotografer Bisa Raup Puluhan Juta per Bulan
Jun 1st 2025, 10:00 by kumparanBISNIS

Fotografer di CFD Jakarta, Minggu (8/12/2024). Foto: Rayyan Farhansyah/kumparan
Fotografer di CFD Jakarta, Minggu (8/12/2024). Foto: Rayyan Farhansyah/kumparan

Lari sebelum ngantor, setelah pulang kerja, atau saat akhir pekan semakin populer di Jakarta dan berbagai kota. Menjadi ceruk bisnis bagi fotografer karena para pelari rekreasional ingin mengabadikan kegiatan sehat mereka di media sosial.

Joko Siswanto memanfaatkan momentum tersebut dengan menjajal profesi fotografer olahraga di jalanan. Bermula dari hobi dan berbekal pengalaman otodidak, dia berhasil meraup cuan yang tidak bisa dibilang sedikit.

"Tren foto lari menjadi sebuah peluang yang cukup menarik untuk menambah pundi-pundi Rupiah, di kota besar misalnya Jakarta, bisnis ini tumbuh subur dan semakin banyak diminati oleh para fotografer," kata fotografer sekaligus pengelola akun @potretgowes dan @potretevent itu, kepada kumparan, Jumat (30/5).

Profesi tersebut mulai ditekuni Joko sejak pandemi COVID-19 melanda pada 2020/2021. Sejak saat itu, banyak masyarakat urban melirik hobi lari hingga sepeda. Tak mau kehilangan kesempatan, Joko mulai mencari informasi terkait fotografi olahraga.

Joko melakukan riset kepada para pendahulunya untuk mempelajari cara berjualan dan bagaimana kondisi pasarnya. Dia pun bersyukur dengan keberadaan media sosial yang kerap menjadi wadah aktualisasi diri para pegiat olahraga.

Joko Siswanto, fotografer olahraga pemilik akun @potretgowes dan @potretevent. Foto: Instagram @joko_siswanto
Joko Siswanto, fotografer olahraga pemilik akun @potretgowes dan @potretevent. Foto: Instagram @joko_siswanto

Joko mengungkapkan, di awal dirinya merintis profesi fotografer olahraga saat era pandemi COVID-19, banyak sekali orang-orang yang bersepeda di ruas Jalan Jenderal Sudirman dan MH Thamrin. Dulu, jumlah fotografer tidak sebanyak sekarang.

Saat itu, fotografer hanya berkumpul di satu titik tertentu misalnya di Flyover Kuningan, Dukuh Atas Sudirman, Flyover TVRI, dan Simpang Susun Semanggi. Bagi Joko, memotret orang bersepeda dan berlari di Jakarta menjadi pekerjaan regular, bahkan hampir setiap hari.

Alhamdulillah, awal mula memulai bisnis ini adalah sebuah kejutan besar bagi saya, karena omzet yang dihasilkan bisa mencapai puluhan juta rupiah setiap bulannya," kata Joko.

Umumnya para fotografer bisa menjajakan fotonya seharga Rp 100.000 per foto, dan bisa lebih murah jika pelanggan membeli dalam jumlah banyak. Dia menilai, fotografer sudah seharusnya tidak menjual hasil karyanya dengan harga yang murah.

"Saya dan teman-teman pun kerap mengedukasi kepada para fotografer yang baru memulai bisnis ini agar tidak menjual karya fotonya dengan harga yang terlalu murah, karena alat produksi yang kita gunakan baik itu kamera dan laptop merupakan barang yang mahal harganya," tuturnya.

Namun seiring berjalannya waktu, lanjut Joko, omzet dari fotografi olahraga mulai mengalami penyusutan. Hal ini dipengaruhi banyak hal seperti pasar yang mungkin sudah jenuh, serta semakin banyaknya fotografer baru yang bermunculan. Apalagi saat ada ajang olahraga seperti lari marathon atau Car Free Day (CFD) di Jakarta, jumlah fotografer jalanan yang berjualan foto sepanjang Jalan Jenderal Sudirman bisa mencapai lebih dari 200 orang.

Incar Event Lomba Lari karena Lebih Cuan

Fotografer Rizkiananda Chinta Cheppy pemilik akun @chintamoments. Foto: Dokumen Pribadi
Fotografer Rizkiananda Chinta Cheppy pemilik akun @chintamoments. Foto: Dokumen Pribadi

Fotografer lain bernama Rizkiananda Chinta Cheppy mengaku lebih memilih mengincar event-event lari yang biasanya diadakan Sabtu atau Minggu. Menurut dia, di event lari, peluang pelari profesional atau pun rekresional untuk menebus foto lebih besar dibandingkan foto harian.

Pemilik akun Instagram @chintamoments ini mengaku untuk satu event lari setidaknya dia mengantongi Rp 1 juta. Di ajang Bogor Run 2025 yang diadakan Pemerintah Kabupaten Bogor di Sentul pada 11 Mei 2025 saja, ada 60 foto yang terjual.

"Dengan harga per foto Rp 50 ribu, ya, kira-kira bisa dapat Rp 3 jutaan kemarin," katanya kepada kumparan, Sabtu (24/5).

Selain foto lari di aspal (road run), Chinta juga kerap datang ke race trail run. Event ini menurutnya lebih menantang karena pelari dan fotografer sama-sama susah untuk menuju lokasi, apalagi jika trail event yang diadakan 100 persen di area pegunungan seperti Siksorogo Lawu Ultra di kawasan Gunung Lawu, Jawa Tengah.

Ada juga trail run yang menyajikan medan persawahan, pegunungan, dan perkampungan seperti yang diadakan Bogor City Trail pada 25 Mei 2025. Dengan elevasi di atas 300, ajang lari ini menyajikan berbagai medan yang menantang tapi juga cocok bagi pelari pemula.

"Karena kalau foto road, ada kemungkinan fotografer hanya duduk di satu spot yang sama. Tapi kalau trail, dengan waktu yang cukup lama, gue bisa pindah-pindah dan bisa ngejar mereka di berbagai spot. Bahkan bisa pindah sampai 3 spot," jelasnya.

Meski fotografi merupakan pekerjaan sampingan karena sehari-hari kerja kantoran, Chinta mengaku profesi ini tetap menjanjikan seiring banyaknya event lari. Berdasarkan situs Kalender Lari, sejak Januari hingga 9 November 2025, setidaknya ada 42 event lari hanya di Jakarta. Belum lagi di Bogor dan kota-kota di Jabodetabek. Meski begitu, dia mengaku selektif memilih event lari. Hanya yang banyak pesertanya.

Sejak rajin memotret di Bogor dan Jakarta, Chinta mengaku pernah meraup pendapatan tertinggi Rp 13 juta per bulan dari hasil jualan di Instagram atau di Fotoyu. Selain dari lari, dia bersama rekannya @bogormotret22, juga mulai terjun ke cabang olahraga lain seperti tenis dan golf hingga menerima foto private atau korporasi.

Dari Driver Ojol Jadi Fotografer Lari

Tidak hanya di Jakarta, tren olahraga luar ruangan juga terjadi di kota besar lain di Indonesia, seperti Bandung. Hal ini diakui oleh salah satu fotografer olahraga di platform Fotoyu, Judi Tandoko.

Judi yang sudah memiliki hobi memotret baru-baru ini terpapar oleh fenomena fotografer olahraga jalanan. Dia kemudian mendaftar di platform Fotoyu dan mulai 'nongkrong' hingga 4 kali dalam seminggu di kawasan Dago Bawah, Bandung.

Hobi fotografi kini menjadi pekerjaan sampingan Judi sejak 4 bulan lalu, selain menjadi pegawai swasta di sebuah toko kain. Semenjak saat itu, Judi tidak lagi menjadi driver ojek online (ojol) karena pendapatannya tidak berbeda jauh.

Sejumlah fotografer memotret saat momen Jakarta Sepi di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Selasa (1/4/2025). Foto: Abid Raihan/kumparan
Sejumlah fotografer memotret saat momen Jakarta Sepi di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Selasa (1/4/2025). Foto: Abid Raihan/kumparan

"Sebelumnya, setelah pulang kerja saya ambil beberapa jam untuk bekerja menjadi ojek online dengan penghasilan sekitar Rp 400.000 satu minggu, tapi dengan kondisi lelah saat pulang ke rumah, di platform ini pun saya bisa mendapatkan kurang lebih hasil yang sama dengan tidak terlalu kelelahan," ungkapnya.

Total omzet dari hasil fotografi olahraga yang dikantongi Judi bisa mencapai kurang lebih Rp 100.000-500.000 setiap pekannya. Hasil fotonya biasa dibanderol minimal Rp 35.000 per foto.

"Keuntungan 90 persen dari harga foto, harga foto diatur komunitas agar harga tetap stabil dan semua pembeli membeli karena karya, bukan harga," jelas Judi.

Meski demikian, Judi mengakui masih ada pro dan kontra dalam kegiatan jual beli foto, yang saat ini marak dilakukan melalui aplikasi berbasis kecerdasan buatan (AI), yaitu Fotoyu.

Berdasarkan laman resminya Fotoyu adalah sebuah platform marketplace dokumentasi personal yang menghubungkan fotografer (kreator) dengan pengguna melalui teknologi AI. Platform ini memungkinkan pengguna untuk dengan mudah mencari dan menemukan foto-foto mereka di berbagai acara.

Peserta mengikuti lari pada acara Digiland Run 2024 di kawasan Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta, Minggu (28/7/2024). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Peserta mengikuti lari pada acara Digiland Run 2024 di kawasan Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta, Minggu (28/7/2024). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan

"Saya sebagai fotografer dari platform Fotoyu sadar bahwa ada pro dan kontra terkait fenomena fotografer jalanan ini, ada yang merasa privasinya terganggu, ada juga yang merasa terbantu karena bisa mendapatkan pose foto bagus untuk dapat di-post di sosial media," ujar Judi.

Judi menilai, hal tersebut merupakan fenomena yang tidak bisa dihindari di era perkembangan teknologi. Selain itu, banyak pegiat olahraga yang merasa terbantu dengan teknologi tersebut.

Dia pun menyarankan para pegiat olahraga yang tidak ingin dipotret dan fotonya diunggah di platform tersebut agar langsung meminta fotonya dihapus atau memberikan tanda keberatan.

"Fotografer memotret di ruang terbuka, bukan sembunyi-sembunyi, jadi jika ada yang keberatan difoto, bisa langsung minta hapus atau memberikan tanda dengan tangan," jelas Judi.

Pelajar SMP yang Cuan dari Fotografi Lari

Kisah fotografer lari lainnya adalah Albie Alfarizi Sembiring (15 tahun). Dari sekadar hobi badminton, jalannya menuju fotografer olahraga lainnya kini terbuka.

Siswa SMP Al Amjad Kota Medan ini awalnya coba-coba terjun ke dunia fotografer, cuma ingin asah skill. Namun kini Albie bisa meraup cuan dari keisengannya.

Keseruan  Fun Run teman kumparan di kawasan Car Free Day Bintaro, Tangerang Selatan, Minggu (16/2/2025). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Keseruan Fun Run teman kumparan di kawasan Car Free Day Bintaro, Tangerang Selatan, Minggu (16/2/2025). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan

Pemuda ini kini mengisi libur akhir pekannya dengan merekam momen-momen pelari berolahraga di Jalan Diponegoro, Kota Medan.

"Awalnya enggak niat jualan ya, tapi aku mau kasih aja kalau ada yang minta ya, namanya aku masih belajar dan biasa aja hasilnya," kata Albie kepada kumparan, Sabtu (24/5).

Albie bercerita, mulanya ia berangkat ke Kuala Lumpur, Malaysia, untuk menonton pertandingan badminton. Di sana ia melihat fotografer idolanya dari Tiongkok yakni Shi Tang. Albie memang sering memeloloti akun Instagram sang idola itu.

Sejak kepulangannya dari Malaysia itu, Albie pun menyakinkan dirinya bahwa ia harus belajar fotografi agar seperti idolanya itu.

Setali tiga uang, ada pengalaman menarik dari Syahran yang juga fotografer di Kota Medan. Pria yang menjadikan fotografer jadi kerjaan sampingan ini punya pengalaman berjam-jam sendirian di perbukitan untuk mengabadikan momen runner, yaitu Bukit Lawang di Kabupaten Langkat.

"Ada sekitar 4 jam sendirian, mencapai lokasi juga butuh waktu sejam perjalanan, demi background menarik memang harus ditempuh," kata dia.

Lewat hobinya ini, Syahran bisa meraup keuntungan Rp 2-5 juta. Sistem menjual fotonya pun sama seperti Albie. Hasil karya dipasarkan lewat Fotoyu hingga membagikan tautan Google Drive.

You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.
Next Post Previous Post