Apr 25th 2025, 14:46, by Arfiansyah Panji Purnandaru, kumparanNEWS
Dika Widia Putra pengusaha Bakso Bang Uyo Jogja, Jumat (25/4/2025). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Seorang pria berbadan tegap tengah sibuk membuka warung bakso-nya di parkiran barat Taman Monjali, Kabupaten Sleman, Jumat (25/4). Warung bakso bernama "Bakso Bang Uyo Jogja" itu baru buka mulai pukul 11.00 WIB.
Si empu warung adalah Dika Widia Putra (28 tahun), seorang lulusan S2 Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM). Dika baru dua bulan ini membuka warung bakso.
Meski berlatar belakang pendidikan yang tinggi, Dika tampak luwes berjualan. Tak ada perasaan canggung, gengsi, maupun malu darinya.
Bagaimana kisah perjalanan Dika hingga memutuskan membuka warung bakso?
"Sebenarnya saya dari kecil di Jepara, bapak-ibu-simbah dari Sukoharjo," kata Dika membuka perbincangan.
Tahun 2015, Dika yang baru lulus SMA diterima di Fakultas Peternakan UGM tepatnya program studi Ilmu dan Industri Peternakan.
Masa kuliah Dika berjalan dengan lancar meski awal-awal indeks prestasi (IP-nya) tak memuaskan karena banyak mengikuti kegiatan.
Di masa pandemi COVID-19, Dika berhasil menyelesaikan pendidikan S1. Setelah lulus, Dika kembali ke Jepara dan membantu orang tuanya berdagang bakso.
"Saya sebenarnya untuk melanjutkan itu kemauan dari orang tua, walaupun (orang tua) dagang bakso tapi pengin anaknya pascasarjana. Beliau (orang tua) kebetulan sarjana pendidikan, tidak jadi guru tapi dagang bakso," jelas Dika.
Pada 2022, Dika kemudian melanjutkan kuliahnya di S2 Peternakan UGM dengan biaya mandiri.
"Saya konsultasi dengan pembimbing pertama dulu saya Prof Budi Guntoro. Beliau bersedia jadi promotor. Jadi saya lanjut biaya mandiri cuma riset diusahakan dicarikan dana dari Prof Budi tersebut. Soalnya (biaya) lumayan itu," katanya.
Kuliahnya berjalan lancar. Dika saat itu menulis tesis soal "Pengaruh Persepsi dan Psikologi Peternak Saat wabah PMK (Penyakit Mulut dan Kuku pada hewan) dan Dampak Kerugian Ekonomi dari PMK di Kabupaten Bantul".
Sempat Daftar CPNS Dosen
Dika Widia Putra pengusaha Bakso Bang Uyo Jogja, Jumat (25/4/2025). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Pada tahun April 2024, Dika lulus dari jenjang magister. Di tahun itu pula ada pembukaan dosen calon pegawai negeri sipil (CPNS). Dika memutuskan mendaftar.
"September saya daftar lolos SKD ke SKB. Tapi di SKB saya kala perangkingan. Saya di situ formasi di dosen asisten ahli Kementerian Perindustrian," kisahnya.
Kebutuhan saat itu hanya satu sementara Dika berada di peringkat kedua. Alhasil dia tak lolos CPNS.
Rasa bimbang sempat Dika rasakan. Sementara kehidupan terus berjalan.
Sejumlah lowongan perusahaan swasta dia lamar. Namun, banyak perusahaan yang penempatan kerjanya di luar Jawa Tengah dan DIY. Padahal Dika anak pertama.
"Orang tua makin lama makin sepuh (tua)," bebernya.
Di tengah kebimbangan itu, Dika memutuskan untuk mengikuti jejak orang tuanya berdagang bakso. Dia memilih berjualan di Yogya. Istilahnya babat alas. Memulai semuanya dari nol.
Modal dia ambil dari uang tabungannya yang tak terlalu banyak. Dia cukup beruntung mendapatkan kios ini dengan harga murah
"Dulu (yang menempati kios ini) sate klathak, dia kontrak Juli 2024-2025, buka 4 bulan kata pemilik dulu, fokus terbelah terus tutup terus saya ganti open kontrak dari Februari sampai Juli cuma Rp 1,5 juta," katanya.
Sementara sewa kios per tahun juga hanya Rp 4 juta. Lalu meja dan kursi hingga gelas, piring, dan rak dia beli juga dari penyewa kios yang lama.
Gerobak bakso pun dia memilih menyewa karena dinilai jauh lebih murah dari pada beli. Gerobak dia sewa Rp 150 ribu per bulan. Sehingga sewa per harinya hanya Rp 5 ribu.
"Modal enggak sampai Rp 10 juta total, kalau agak banyak reklame atas, itu bikin baru Rp 1,5 juta, itu paling baru dan paling mahal," katanya.
Inovasi Bakso Kotak
Dika Widia Putra pengusaha Bakso Bang Uyo Jogja, Jumat (25/4/2025). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Meski keluarga memiliki pengalaman berdagang bakso, tetapi Dika tetap tak berhenti berinovasi. Dia meriset sejumlah bakso hingga ke Surabaya. Di situlah dia menemukan bakso kotak.
"bakso bentuknya selalu bundar. Saya terinspirasi bakso di Surabaya. Bentuknya kotak, saya sampai riset ke Surabaya. Sambil beli sambil tanya-tanya ke pegawainya," katanya.
bakso kotak ini jadi salah satu menu di warungnya bersama menu-menu lain seperti bakso tetelan, bakso komplit, dan bakso telur. Harga yang ditawarkan pun terjangkau dari Rp 14 ribu.
"Dari trial satu, trial dua, trial tiga, bagaimana bikin bakso kotak yang enak, kuah yang enak. Saya enggak pure dari konsep usaha orang tua bawa ke sini, enggak. Saya inovasi," katanya.
Ilmu S2 Tetap Terpakai
Sebagai pedagang bakso, ilmu yang didapat di bangku perkuliahan S1 dan S2 tetap terpakai. Terlebih selama kuliah dia fokus pada sosial ekonomi peternakan.
"Di situ (sosial ekonomi peternakan) kita belajar perilaku konsumen, kepuasan, loyalitas, marketing, dan lain-lain," katanya.
Ilmu semasa kuliah itu membantu dirinya dalam memilih daging berkualitas, bagaimana mengolah daging yang kenyal, hingga mempertahankan rasa tetap konsisten.
"Pemilihan daging berkualitas, gimana daging supaya kenyal dibikin bakso. Soalnya enggak semua daging bisa dibuat bakso, itu ada bagian tersendiri," katanya.
"Kalau kebanyakan pedagang bakso mungkin ya enggak pakai kuantitas yang dikontrol misal garam seberapa, kemudian bawang seberapa. Di sini saya sedikit-sedikit menerapkan manajemen tersebut. Ada patokan pasti sehingga rasa tekstur dan intinya produk yang saya sajikan tidak berubah, konsisten," bebernya.
Pemilihan nama ini juga ilmu dari kuliah. Nama Uyo tak ada kaitan apa pun. Namun dipilih karena mudah dilafalkan dan diingat.
Tak Gengsi
Dika menegaskan dirinya tak gengsi berjualan bakso meski latar belakangnya tinggi. Mental ini dia dapat sejak kuliah S1 di UGM. Dika ikut beragam organisasi termasuk pengalaman ekspedisi ke Pulau Seram, Maluku.
"Dari pengalaman itu banyak mengambil hikmah, turunkan ego, turunkan malu, mental harus kuat," tegasnya.
Dalam ekspedisi tersebut dia harus naik kapal berhari-hari untuk membantu masyarakat dalam penerapan ilmu peternakan dan usaha peternakan di Desa Piliana, desa terakhir sebelum Gunung Binaiya.
"Bikin kompos, pupuk kompos, terkait usaha peternakan, ayam bagaimana. Pengabdian. Setelah itu eksplorasi pendakian itu kurang lebih lima harian," kata Dika yang juga anggota mahasiswa pecinta alam itu.
Dika berpesan kepada anak muda agar membuang jauh-jauh gengsi, tetap konsisten berusaha dan telaten.
Tetap Ingin Jadi Dosen dan Lanjut Usaha
Dika Widia Putra pengusaha Bakso Bang Uyo Jogja, Jumat (25/4/2025). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Di sisi lain, Dika mengaku masih ingin menjadi dosen CPNS. Pengalaman yang dia dapat dari berdagang bakso juga bisa jadi modal berharga dalam mengajar.
"Tetap cita-cita saya dosen, akan daftar lagi dan dulu saya pikirkan misal masuk (kerja) swasta saya sambil nunggu tahun besok buat CPNS kalau saya masuk swasta yang saya bawa cuma bawa uang," katanya.
Dengan merintis usaha ini, ketika dia jadi dosen usaha ini harapannya tetap bisa terus berjalan dan membuka lapangan kerja. Saat ini sudah ada seorang karyawan di warung baksonya ini. Saat kondisi ramai dia biasanya mengajak satu teman lagi buat membantu.
"Bakso Bang Uyo bisa membantu saya menghidupkan, bisa bantu orang lain buka lapangan pekerjaan. Yang bisa terus berkembang, tumbuh," katanya.
Soal langkah yang ditempuh Dika, keluarga dan saudara-saudara senantiasa mendukung. Terlebih latar belakang keluarga besarnya adalah wirausaha.
"Pesan buat teman-teman yang masih berjuang atau bingung, kejar passion-mu apa yang kamu senangi itu tekuni, telateni konsisten dan jangan malu belajar-belajar lagi. Upgrade diri dan bermanfaatlah untuk makhluk sekitar bukan cuma untuk manusia," kata dia.