Apr 20th 2024, 08:14, by Moh Fajri, kumparanBISNIS
Rupiah melemah hingga level di atas Rp 16.000 per dolar AS. Pelemahan rupiah ini tidak lepas dari pengaruh konflik geopolitik antara Iran dengan Israel.
Meski rupiah melemah, hasil uji ketahanan (stress test) yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan kondisi tersebut saat ini relatif tidak berpegaruh signifikan terhadap permodalan bank.
Hal ini mengingat posisi devisa neto (PDN) perbankan Indonesia yang masih jauh di bawah threshold dan secara umum dalam posisi PDN 'long' (aset valas lebih besar dari kewajiban valas).
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, mengimbau masyarakat untuk tetap tenang dalam menghadapi dampak guncangan geopolitik global yang saat ini terjadi.
"Ketenangan dan rasionalitas dari masyarakat, serta koordinasi antar otoritas terkait, merupakan faktor kunci dalam menghadapi dinamika perekonomian global yang saat ini terjadi," kata Dian melalui keterangan tertulis, Jumat (19/4).
Bantalan permodalan perbankan yang cukup besar (CAR yang tinggi) diyakini mampu menyerap fluktuasi nilai tukar rupiah dan suku bunga yang masih tertahan relatif tinggi. Porsi Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam bentuk valuta asing saat ini sekitar 15 persen dari total DPK Perbankan.
Sampai akhir Maret 2024, DPK valas masih tumbuh cukup baik secara tahunan (yoy) maupun dibandingkan dengan awal tahun 2024 (ytd).
Menurut Dian, sejauh ini penguatan dolar AS terjadi terhadap seluruh mata uang secara global, tercermin dari Dollar Index yang mencatatkan tren kenaikan sejak akhir Maret 2024.
Beberapa faktor yang mempengaruhi penguatan dolar AS antara lain adalah kebijakan suku bunga high for longer yang masih berlanjut di tengah kuatnya perekonomian AS, namun bersamaan dengan laju inflasi AS yang masih cukup jauh dari target 2 persen.
Konflik global juga membuat dolar AS yang merupakan salah satu safe haven asset terus diburu para pelaku pasar dan mendorong penguatannya lebih lanjut.
Di lain sisi, pelemahan nilai tukar rupiah dapat memberikan efek positif terhadap ekspor komoditas dan turunannya yang diharapkan mengimbangi penarikan dana non-residen dan mendorong industri dalam negeri untuk meningkatkan penggunaan komponen dalam negeri dalam proses produksinya.
"OJK melakukan uji ketahanan (stress test) secara rutin terhadap perbankan dengan menggunakan beberapa variabel skenario makroekonomi dan mempertimbangkan faktor risiko utama yaitu risiko kredit dan risiko pasar," ujar Dian.