Memiliki 2 orang anak perempuan yang berumur 16 Tahun dan 10 Tahun serta seorang anak laki-laki paling bontot berusia 7 Tahun memberi saya begitu banyak pelajaran berharga sebagai seorang ibu. Apalagi kalau bukan warna-warni membangun dan menjalin komunikasi alias bounding antara orang tua dan anak.
Hingga saat ini saya masih terus semangat untuk belajar menjadi madrasah terbaik bagi mereka, mulai dari menjadi tauladan yang baik pun menjadi guru pengajar yang bisa dibilang cukup kompeten. Kecuali anak perempuan saya yang sudah remaja dan duduk di bangku SMA, beberapa mata pelajaran seperti Kimia dan Fisika memang lumayan membuat stress, terasa seperti zaman saya sekolah dulu. Meskipun begitu, saya lumayan puas dengan tumbuh kembang mereka saat ini.
Kedua anak perempuan saya misalnya, mereka sudah mandiri untuk mengurusi keperluan sendiri. Mulai dari menyiapkan bahan pelajaran, kewajiban menyeterika baju sendiri, membersihkan kamar dan barang keperluan sendiri, hingga kewajiban lain yang sudah saya limpahkan tanggung jawabnya kepada mereka. Semuanya terasa tidak terlalu sulit, karena memang berkomunikasi dengan mereka lebih mudah bagi saya di banding anak bungsu yang notabene laki-laki.
Saya akui, terdapat perbedaan besar tentang berkomunikasi dan menjalin bounding dengan anak laki-laki saya semata wayang ini. Awalnya karena tumben mengasuh anak laki-laki, saya pikir perlakuan yang harus diberikan sama. Ternyata setelah belajar dari banyak video parenting di youtube maupun di beberapa media soal, memang mendidik anak laki-laki itu beda dengan anak perempuan.
Contohnya yang disampaikan oleh dr. Aisyah Dahlan, salah satu Dokter sekaligus Praktisi Neuroparenting Skill dalam salah satu potongan videonya yang saya temukan di facebook. Di situ beliau sampaikan bahwa otak anak laki-laki sampai berumur 18 tahun isinya adalah main dan main, bukan belajar. Atau sikap yang paling tidak disukai anak laki-laki, ketika lelah pulang ke rumah jangan ditanya apa pun karena dia akan emosi cenderung marah.
Berangkat dari sini, saya pun menganalisa sendiri memang suatu ketika saya meminta tolong kepada si bontot ini ketika dia sedang asyik main lego, dengan sedikit berteriak, maka dia hanya menyahut namun setelah itu lanjut main, cuek. Begitu pula setiap ada waktu luang entah itu pulang sekolah, atau setelah selesai mengaji pun mengerjakan PR, maka kalimat yang terlontar adalah "mama, boleh ga habis ini main?".
Tentu saja, saya juga tidak mau menjadi ibu yang gagal dalam mendampingi tumbuh kembang mereka. Dari sekian banyak referensi yang saya dengar dari sejumlah pakar psikologi anak, saya pun mulai menerapkan pola komunikasi yang sesuai atau pas bagi seorang anak laki-laki seusia ini.
Misalnya, ketika berkomunikasi untuk minta tolong padanya untuk melakukan satu pekerjaan kecil di rumah, maka saya akan mendekatkan wajah saya ke telinganya dan sedikit berbisik "mas, boleh ga mama minta tolong buang sampah?". Dan benar saja, hasilnya membuat saya terkejut karena dia tak hanya menyahut namun langsung beraksi mengambil sekantong sampah kemudian membawanya ke tempat sampah depan rumah.
Atau ketika saya kelelahan sepulang kantor dan minta tolong untuk membereskan mainanya, dengan cara yang sama, dia pun langsung beraksi bahkan dengan bertubi-tubi mencium pipi saya terlebih dahulu sambil berucap "mama capek? Tenang, sekarang aku bereskan sampai rapi".
Menyikapi hobi bermain anak laki-laki memang kadang melelahkan. Hampir tiap hari dia akan mengobrak-abrik seisi rumah hanya untuk bermain. Namun tak pernah saya omeli, paling menghela napas sambil mengingatkan "mas, ingat habis main rapikan ya". Karena saya paham, anak laki-laki benci omelan ibu cerewet, sepertinya itu sangat berisik di telinga mereka, begitu kira-kira yang saya tangkap.
Oh iya, satu lagi. Anak laki-laki itu memang manja pada ibunya bahkan sangat romantis. Itu fakta! Selain itu dia cenderung tidak suka berbagi kasih sayang ibunya secara nyata bahkan kepada saudara-saudaranya. Baginya ibu hanyalah miliknya.
Buktinya, Setiap kali sedang masak, sebelum tidur, bangun tidur bahkan saat nonton pun terkadang dia akan memeluk atau mencium pipi saya sebagai ibunya sambil berbisik "saaayang mama". Sedari kecil saudara-saudara perempuannya dilarang mendekati saya ketika sedang menemani dia.
Namun semua perlakuan manis anak laki-laki saya ini tidak terbentuk dalam sebulan dua bulan. Pasalnya sedari dia lahir saya sudah belajar juga bahwa perlakuan yang kita berikan akan kembali dalam bentuk yang sama dari si anak. Atau dalam agama Islam diajarkan barang siapa berlaku penuh kasih sayang kepada anak, maka begitulah anak akan memperlakukan orang tuanya.
Oleh sebab itu sedari lahir anak laki-laki saya ini memang hampir tak pernah saya bentak, tak pernah saya marahi apalagi dicaci dengan kata-kata kasar. Hal ini sudah saya terapkan sedari anak pertama bahkan, tidak boleh ada "bahasa hutan dalam rumah". Artinya komunikasi yang baik memang tidak bisa kita bangun dari sesuatu yang negatif.
Sebagai seorang ibu ada baiknya belajar memperlakukan mereka sesuai kondisi psikologinya masing-masing. Menjadi ibu ternyata membuat saya sadar, bahwa orang tua harus terus belajar dalam mendidik dan membimbing anak. Harus paham banyak hal tentang emosi, perlakuan, karakter dan pola asuh yang pas.
Hingga tulisan ini saya buat, saya bangga dengan apa yang saya capai meskipun perjalanan menjadi seorang ibu yang sukses mengantar anak-anaknya hingga dewasa nanti masih panjang.
*Kutuliskan sambil menikmati atraksi superhero si bontot merapikan kamar yang lebih seperti kapal pecah, haha....