Mar 28th 2024, 10:02, by Ferdiyan Ananta, Ferdiyan Ananta
Beberapa pekan yang lalu (5/03) Menteri agama (Menag) republik Indonesia Yaqut Cholil Qoumas, menulis sebuah artikel di Kompas dengan judul Rekonsiliasi dan Rekognisi Pasca Pilpres. Dalam artikel tersebut, mempertimbangkan bahwa pemilu sudah berakhir, dan secara 'scientific' pemenang pemilu sudah diketahui.
Menag setidak-tidaknya mengimbau kepada aktor-aktor politik dan masyarakat pada umumnya untuk melakukan tiga hal; melakukan rekonsiliasi, mengakui kemenangan lawan, dan berhenti memelihara sakit hati.
Sebagai pengamat statement pejabat paruh waktu, terus terang saya agak sedikit terganggu dengan imbauan-imbauan Menag tersebut. Bukan berarti imbauan-imbauan tersebut banyak salahnya (walaupun mungkin iya), akan tetapi melalui pesan-pesan politik dalam essaynya tersebut, Gus Yaqut seolah-olah menormalisasi segala bentuk pelanggaran yang terjadi pada kontestasi pemilu 2024 ini.
Rekonsiliasi Bukan Koalisi
Rekonsiliasi pasca kompetisi dalam negara demokrasi boleh jadi memang diperlukan. Akan tetapi, rekonsiliasi seperti apa yang sebenarnya dimaksud oleh Menag? Dalam essaynya, Menag mencontohkan rekonsiliasi yang dimaksud dengan merujuk pada President Jokowi yang diklaim telah berhasil dalam melakukan rekonsiliasi dengan menarik hampir semua oposisi untuk menjadi bagian dari pemerintahannya.
Jika rekonsiliasi yang dimaksud adalah merangkul semua lawan politik untuk bergabung dalam pemerintahan, itu bukanlah rekonsiliasi politik, akan tetapi koalisi politik. Alih-alih membuat negara ini menjadi lebih baik, koalisi gemuk seperti yang dilakukan oleh Jokowi pasca pemilu 2019 justru membuat negara ini menjadi obesitas; menurunkan kesehatan demokrasi itu sendiri.
Dalam sejarah, istilah rekonsiliasi dalam dunia politik pada mulanya muncul sebagai sebuah jalan tengah bagi negara-negara yang mengalami konflik berkepanjangan akibat transisi terhadap sistem demokrasi, maupun konflik-konflik lainnya yang berhubungan dengan agama, etnik, ideologi dan berujung pada peperangan sipil.
Dalam situasi yang seperti itu, aktor-aktor politik yang berhubungan dengan masalah-masalah tersebut dituntut untuk melakukan rekonsiliasi agar kekacauan yang menyebabkan korban jiwa tersebut bisa dihentikan (Nyarwi Ahmad, 2019).
Berbeda dengan rekonsiliasi, koalisi merupakan sebuah kelompok elite politik yang dengan sengaja dibentuk untuk mencapai tujuan-tujuan politik yang biasanya cenderung pragmatis. Oleh karenanya, koalisi seringkali ditandai dengan bagi-bagi jabatan, terlepas mereka kredibel atau tidak untuk mengemban jabatan tersebut.
Salah satu benefit dari koalisi bagi elite politik pada dasarnya ialah ingin melanggengkan kekuasaan, atau setidak-tidaknya mengurangi gelombang resistensi dari elite-elite politik yang di luar kekuasaan agar semua kebijakan-kebijakan politik tidak banyak dipertanyakan.
Di Indonesia, aturan mengenai presidential threshold yang mencapai angka 20% membuat koalisi itu mustahil untuk tidak dilakukan. Kita tahu bersama bahwa presidential threshold ini membawa setumpuk masalah pada sistem demokrasi kita. Salah satunya ialah tidak berjalannya sistem meritokrasi.
Kader-kader terbaik bangsa ini dipaksa mundur serentak dari kesempatannya untuk menjadi pemimpin sebab persentase partainya di parlemen jauh dari standar presidential threshold. Namun di sisi yang lain, presidential threshold ternyata juga membuat partai-partai yang memiliki elektabilitas rendah merasa takut jika tidak bergabung dengan koalisi partai lain yang memiliki potensi untuk berkuasa.
Pada kenyataanya, tidak ada partai yang tahan berlama-lama di luar kekuasaan. Padahal, partai politik sebenarnya adalah alat demokrasi yang cukup kuat untuk menjadi kelompok pengontrol atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan rakyat.
Jika semua partai masuk dalam struktur kekuasaan, maka siapa yang bisa mengontrol bahwa kebijakan-kebijakan politik yang dihasilkan memang selalu berada pada pihak rakyat, bukan pihak elite-elite politik?
Sekali lagi, rekonsiliasi ala Jokowi yang diklaim Menag sebagai sesuatu yang bagus dan seolah-olah layak diikuti pada dasarnya sangatlah berbahaya bagi kesehatan demokrasi kita.
Pesan lain dari Gus Yaqut ialah siapa pun yang terlibat dalam pemilu ini seyogyanya mengakui kemenangan dan tidak memelihara sakit hati; bahwasannya segala tuduhan atas kecurangan sudah ada mekanismenya di Mahkamah Konstitusi.
Sebelum tragedi pengubahan batas usia calon wakil presiden untuk meloloskan Gibran sebagai cawapres, statement itu terdengar lebih memiliki kekuatan. Tapi hari ini, mengharapkan MK menyelesaikan persoalan pemilu dengan bijak rasanya agak menggelikan. Walaupun memang harapan baik harus tetap ada.
Gus Yaqut harus membedakan dengan baik mana kelompok masyarakat yang tidak mengakui kemenangan, dan mana masyarakat yang sedang menuntut keadilan atas penyelenggaraan pemilu yang sarat akan intervensi kekuatan penguasa.
Agak sulit untuk tidak mengakui bahwa memang pemilu kali ini dipenuhi dengan pelanggaran etika yang begitu terbuka, mulai dari pengubahan aturan di Mahkamah Konstitusi, pembagian Bansos, hingga pengerahan aparatur negara untuk mendukung salah satu paslon tertentu. Bahkan pelanggaran etika tersebut sudah dengan resmi disematkan setidaknya kepada MK dan KPU.
Oleh sebab itu, wajar jika hingga hari ini banyak sekali elemen masyarakat yang masih terus berjuang untuk mendapatkan proporsi keadilan dengan seadil-adilnya. Pelanggaran-pelanggaran semacam itu tidak boleh dinormalisasikan dengan ungkapan-ungkapan semisal "yang kalah selalu menuduh curang."
Apalagi jika normalisasi terhadap pelanggaran itu dilakukan oleh aparatur negara, sungguh sangat tidak normal. Tapi memang nampaknya sudah cukup lama kita hidup dalam serba ketidaknormalan ini.
Walaupun KPU telah menentukan pemenang pemilu tahun 2024 ini, kita mestinya tetap mendukung dan menaruh simpati pada mereka-mereka yang mencoba mengawal demokrasi ini menjadi lebih baik. Ketika partai-partai politik hampir semua masuk dalam garbong kekuasaan, bukan berarti suara mereka yang di luar gerbong menjadi tidak penting. Justru suara di luar gerbong itulah yang berusaha menjaga keseimbangan.